Akar dari persoalan ini, kata Pramono, adalah peraturan yang tidak cukup kuat. Sebab, dahulu, gagasan larangan eks koruptor maju sebagai peserta pemilu hanya diatur di dalam PKPU.
Menurut dia, salah satu alternatif yang bisa digunakan adalah revisi Undang-Undang Pilkada, atau setidaknya dukungan dari pihak-pihak terkait.
"Sekurang-kurangnya kalau KPU mengusulkan di Leraturan KPU tentang pencalonan Bupati, Wali Kota dan Gubernur, fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah mendukung," kata Pramono.
Baca juga: Melihat Celah KPU untuk Larang Eks Koruptor Nyalon di Pilkada 2020
"Dengan begitu, setidaknya dukungan politik dari pemerintah dan DPR, bahwa mereka tidak akan mencalonkan napi koruptor dalam Pilkada 2020 karena proses pencolanan dalam Pilkada itu kan oleh DPP (partai)," ucap dia.
Terkait hal itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menyambut baik wacana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melarang eks koruptor mencalonkan diri sebagai kandidat dalam Pilkada 2020.
"Kami juga di DPR sepakat bahwa hal-hal seperti itu dalam rangka pemberantasan korupsi dan sebagainya. Kita tidak ragu dan kita mendukung segala bentuk pemberantasan korupsi," kata Riza saat dihubungi wartawan, Selasa (30/7/2019).
Namun, Riza mengatakan, dalam Undang-Undang Pilkada, diatur bahwa mantan narapidana korupsi boleh mengikuti pilkada.
Baca juga: Wakil Ketua Komisi II: Larangan Eks Koruptor Ikut Pilkada Dibahas Usai Reses
Menurut dia, jika KPU ingin mantan koruptor tidak bisa mengikuti pilkada, UU Pilkada harus direvisi.
"KPU minta ke pemerintah, dan ke DPR untuk merevisi UU pilkada," ujar dia.
Riza mengatakan, KPU bisa meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) tentang larangan mantan koruptor mengikuti pilkada.