Melihat Celah KPU untuk Larang Eks Koruptor "Nyalon" di Pilkada 2020

Rabu, 31 Juli 2019 | 06:39 WIB
KOMPAS/DIDIE SW Ilustrasi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menggulirkan wacana larangan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri di Pilkada 2020.

Pemicunya, ditetapkannya Bupati Kudus Muhammad Tamzil sebagai tersangka korupsi.

Status tersangka yang disandangnya akhir pekan lalu berkaitan dengan dugaan suap dan gratifikasi jual beli jabatan.

Baca juga: Pengamat: Koruptor Lebih Takut Miskin Daripada Mati

Dulu, sebelum terpilih menjadi bupati untuk kedua kalinya, Tamzil mendekam di penjara atas kasus yang sama.

Berkaca dari kasus itu, KPU merasa perlu melarang eks koruptor maju sebagai calon kepala daerah. Tujuan akhirnya, supaya rakyat tak salah pilih atas pemimpin mereka.

Baca juga: KPU Setuju dengan KPK soal Imbauan Tak Pilih Eks Koruptor pada Pilkada

Hingga saat ini, KPU masih memikirkan sejumlah alternatif yang mungkin bisa dilakukan.

1. Bukan gagasan baru

Wacana larangan eks koruptor mencalonkan diri sebagai peserta pemilu bukan hanya sekali dilemparkan KPU.

Jelang Pemilu Serentak 2019 lalu, KPU pernah membuat aturan yang melarang mantan napi korupsi maju sebagai calon legislatif. Hal ini dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.

Baca juga: Bawaslu Nilai Harus Ada Payung Hukum Larangan Eks Koruptor Nyalon di Pilkada 2020

PKPU ini menuai polemik lantaran dianggap menyimpang dari Undang-undang Pemilu. UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sama sekali tidak memuat larangan eks koruptor nyaleg.

Aturan ini dianggap merugikan sebagian pihak. Sebab, mereka tak bisa maju di Pemilu 2019 karena tak diloloskan KPU sebagai caleg.

Sebagian dari mereka menggugat ke Bawaslu. Oleh Bawaslu, para eks koruptor ini justru dinyatakan lolos sebagai caleg.

Baca juga: KPU Sebut Larangan Eks Koruptor Nyalon Idealnya Diatur di UU Pilkada

Adapun Bawaslu berpedoman pada UU Nomor 7 Tahun 2017 yang tak mengatur larangan eks koruptor nyaleg. Sementara KPU berpedoman pada PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang sah secara hukum.

Dua putusan penyelenggara pemilu yang berbeda ini sempat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Di saat bersamaan, sebagian pihak yang merasa dirugikan juga menggugat putusan KPU ke Agung (MA). MA mengabulkan gugatan tersebut dan meminta KPU untuk menghapus larangan eks koruptor nyaleg.

Baca juga: KPU: Parpol Tentukan Ada Tidaknya Eks Koruptor sebagai Peserta Pemilu

KPU lantas membatalkan larangan tersebut. Dengan kata lain, mantan napi korupsi boleh mencalonkan diri lagi.

Akhirnya, ada 81 eks koruptor yang maju berkontestasi di Pemilu 2019.

2. Revisi UU hingga pencabutan hak politik

"Revisi Undang-Undang Pilkada, itu yang paling ideal sebenarnya," kata Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi saat dihubungi, Senin (29/7/2019).

Menurut Pramono, revisi UU Pilkada diperlukan lantaran Peraturan KPU (PKPU) saja tak cukup kuat untuk memberlakukan aturan itu.

Baca juga: Selain Peraturan KPU, Ini Alternatif Lain Cegah Eks Koruptor Nyalon Lagi di Pemilu

Dikhawatirkan, jika aturan ini hanya dimuat di PKPU, akan ada pihak yang tak terima dan kembali menggugat di MA sebagaimana yang terjadi pada PKPU Nomor 20 Tahun 2018.

Namun, sekalipun nantinya aturan ini hanya dicantumkan dalam PKPU, kata Pramono, setidaknya ada dukungan dari DPR, pemerintah, dan partai politik.

Jika seluruh parpol setuju soal larangan caleg eks koruptor maju sebagai peserta pemilu, Pramono yakin, tidak ada satupun. peserta pemilu yang berstatus eks koruptor.

Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat.Kompas.com/Fitria Chusna Farisa Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat.

Baca juga: ICW: Larangan Eks Koruptor Nyalon Sebaiknya Diatur dalam Perppu

"Kalau partai politik tingkat pusatnya menyetujui peraturan KPU (soal larangan eks koruptor mencalonkan diri) itu otomatis mereka tidak akan mengajukan calon-calon yang memang mantan napi koruptor," katanya.

Alternatif lain bisa dilakukan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Pengadilan bisa saja memberi hukuman ke terdakwa korupsi dengan mencabut hak politik mereka seumur hidup.

Dengan begitu, mantan napi korupsi tidak akan punya kesempatan lagi untuk terjun ke politik.

3. Usulan Perppu

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) bisa dijadikan salah satu alternatif untuk membuat aturan yang melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan diri di Pilkada 2020.

Baca juga: Berkaca Kasus Bupati Kudus, KPK Harap Parpol Tak Calonkan Eks Koruptor

Perppu dinilai bisa menjadi payung hukum yang kuat yang menyelesaikan persoalan pencalonan eks koruptor di kontestasi politik.

"Pilihannya adalah meminta Presiden mengeluarkan Perppu karena kegentingan yang memaksa karena daerah sedang dijangkiti kepala daerah yang berasal dari koruptor," kata Feri kepada Kompas.com, Selasa (30/7/2019).

Feri mengatakan, dirinya setuju dengan gagasan KPU menggulirkan kembali wacana pelarangan eks koruptor mencalonkan diri sebagai peserta pemilu.

Baca juga: Bupati Kudus 2 Kali Terjerat Korupsi, KPK: Koruptor Jangan Dikasih Kesempatan Dipilih

Tetapi, menurut dia, KPU harus didukung oleh pihak-pihak terkait, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Kedua penyelenggara pemilu itu tidak boleh lagi silang pendapat, supaya wacana ini tidak berakhir sama dengan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.

"Untuk itu KPU perlu betul bekerja sama dengan KPK untuk meyakinkan Bawaslu," ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.

4. Dukungan DPR

Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menyambut baik wacana KPU untuk melarang eks koruptor mencalonkan diri sebagai kandidat dalam Pilkada 2020.

Baca juga: Wakil Ketua Komisi II DPR Dukung Wacana Larang Mantan Koruptor Nyalon

"Kami juga di DPR sepakat bahwa hal-hal seperti itu dalam rangka pemberantasan korupsi dan sebagainya. Kita tidak ragu dan kita mendukung segala bentuk pemberantasan korupsi," kata Riza saat dihubungi wartawan, Selasa (30/7/2019).

Namun, Riza mengatakan, dalam Undang-undang Pilkada, diatur bahwa mantan narapidana korupsi boleh mengikuti pilkada.

Baca juga: KPU Sebut Larangan Eks Koruptor Nyalon Idealnya Diatur di UU Pilkada

Menurut dia, jika KPU ingin mantan koruptor tidak bisa mengikuti pilkada, UU Pilkada harus direvisi.

"KPU minta ke pemerintah, dan ke DPR untuk merevisi UU pilkada," ujar dia.

Riza mengatakan, KPU bisa meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) tentang larangan mantan koruptor mengikuti pilkada.

Kompas TV Indonesia Corruption Watch menilai tuntutan hukuman maksimal pencabutan hak politik dan perampasan aset koruptor jauh lebih efektif untuk menekan praktik korupsi dibanding hukuman mati. Sesuai undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hukuman mati dimungkinkan untuk dikenakan kepada koruptor dalam kondisi tertentu. Antara lain untuk korupsi yang terjadi saat bencana alam krisis moneter dan pengulangan praktik korupsi seperti kasus korupsi Bupati Kudus, M Tamzil. Namun demikian ICW menilai hukuman mati bagi koruptor belum tentu bisa memberikan efek jera bagi pelaku korupsi yang lain. Menurut peneliti ICW, Donald Fariz durasi hukuman maksimal pencabutan hak politik dan perampasan aset lebih efektif untuk menekan angka korupsi. #ICW #PerampasanHarta #Koruptor



Agenda Pemilu 2019

  • 20 September 2018

    Penetapan dan pengumuman pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21 September 2018

    Penetapan nomor urut pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21-23 September 2018

    Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD, DPR, dan DPRD provinsi

  • 24 September-5 Oktober 2018

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 8-12 Oktober 2018

    Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara

  • 23 September 2018-13 April 2019

    Kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga

  • 24 Maret 2019-13 April 2019

    Kampanye rapat umum dan iklan media massa cetak dan elektronik

  • 28 Agustus 2018-17 April 2019

    Pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT)

  • 14-16 April 2019

    Masa Tenang

  • 17 April

    Pemungutan suara

  • 19 April-2 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil tingkat kecamatan

  • 22 April-7 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat kabupaten/kota

  • 23 April-9 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat provinsi

  • 25 April-22 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat nasional

  • 23-25 Mei 2019

    Pengajuan permohonan sengketa di Mahkamah Konstitusi

  • 26 Mei-8 Juni 2019

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 9-15 Juni 2019

    Pelaksanaan putusan MK oleh KPU

  • Juli-September 2019

    Peresmian keanggotan DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD

  • Agustus-Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPRD Kabupaten/kota dan DPRD Provinsi

  • 1 Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPR

  • 20 Oktober 2019

    Sumpah janji pelantikan presiden dan wakil presiden