Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sistem pemerintahan mulai dibenahi. Terbit UU Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai kedudukan Komite Nasional Daerah di mana kepala daerah menjalankan fungsi sebagai pemimpin komite nasional daerahnya.
Kepala daerah masih sama seperti sebelumnya karena kondisi politik pada awal kemerdekaan belum stabil. Setelah 3 tahun berjalan, sistem ini diperbarui. Pada 1948 ditetapkan Undang-Undang Pengganti tahun 1945.
Setelah kemerdekaan, Pilkada berdasar pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Pokok tentang Pemerintah Daerah.
Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 mengamanatkan, kepala daerah di tingkat provinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, sedikit-sedikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat calon.
Sementara di tingkat kabupaten, sesuai Pasal 18 Ayat 2, kepala daerahnya diangkat oleh Menteri Dalam Negeri, yang para calonnya diajukan oleh DPRD kabupaten. Para calon sedikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang.
Ketentuan pilkada dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 berubah setelah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Pasal 24 Ayat 1 Undang-Undang ini mengamanatkan bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Dalam Pasal 24 ayat 2, kepala daerah tingkat I disahkan oleh Presiden, sedangkan kepala daerah tingkat II disahkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 ini disebutkan bahwa Kepala Daerah Tingkat I (Provinsi) dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah di musyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan DPRD/Pimpinan fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya sedikit-dikitnya 2 (dua) orang diajukan kepada Presiden untuk diangkat salah seorang di antaranya sesuai Pasal 15 Ayat 1 dan 2.
Sedangkan Pilkada tingkat II (kabupaten/kota) dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah di musyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Gubernur.
Selanjutnya sedikit-dikitnya 2 (dua) orang diajukan kepada Menteri Dalam Negeri untuk diangkat salah seorang di antaranya, sesuai pasal 15 Ayat 1 dan 2.
Setelah era reformasi, Pilkada berdasar pada UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Pasal 34 Ayat 1 UU ini, pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan. Pasangan calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden.
Setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 lahirlah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU ini memberikan perubahan yang sangat besar, yaitu kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan, sesuai Pasal 24 Ayat 5.
UU Nomor 32 Tahun 2004 ini menjadi tonggak sejarah, karena pertama kalinya kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pilkada 2005 digelar di 7 provinsi, 174 kabupaten, dan 32 kota. Setelah ada perbaikan dalam sistem pemilihan kepala daerah, akhirnya pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membuat rakyat bisa memilih pemimpin daerahnya secara langsung.
Pada Pilkada ini, calon pemimpin daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik. Melalui cara tersebut, rakyat kemudian memilih calon kepala daerah sesuai dengan pilihannya.
Pada tahun 2005, pelaksanaan Pilkada pertama berlangsung di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pemilu ini diikuti empat pasangan calon yakni Irsyadi–Nuraini Rahman, Mahyudin–Ardiansyah, Awang Faroek Ishak-Israan Noor dan Abdal Nanang–Mujiono.
Pasangan Awang Faroek–Isran Noor memenangkan pilkada ini dengan perolehan suara lebih dari 50 persen. Awang Faroek–Isran Noor dilantik menjadi bupati dan wakil bupati Kutai Timur pada tanggal 13 Februari 2006.
Pada tahun 2008, pemerintah dan DPR kembali merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Pada aturan sebelumnya, pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Sementara dalam revisi di tahun 2008, peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
Sepuluh tahun setelah pelaksanaan UU Nomor 32 Tahun 2004 terbitlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Undang-Undang ini dapat dikatakan sebagai koreksi atas UU Nomor 32 Tahun 2004 yang ber-euforia atas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih rakyat secara langsung.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 ini memberi kewenangan kembali kepada DPRD untuk memilih kepala daerah dan wakilnya.
Sebagaimana disebutkan Pasal 28 Ayat 1 bahwa pemungutan suara, perhitungan suara, dan penetapan hasil pemungutan suara dalam pemilihan dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Selain mengatur soal pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 juga memerintahkan pelaksanaan pilkada serentak setiap lima tahun sekali secara nasional.
Terbitnya UU Nomor 22 Tahun 2014 ini mendapat pertentangan dari berbagai pihak, yang menginginkan Pilkada tetap digelar secara langsung. Penolakan yang begitu masif dari masyarakat menjadikan UU tersebut dicabut.
Setelah mendapatkan penolakan keras dari masyarakat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Dengan dikeluarkannya Perppu itu, maka sistem pemilihan kepala daerah kembali menjadi pemilihan langsung.
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 itu kemudian disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Pasal 1 Ayat 1 UU tersebut menyatakan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota secara demokratis.
Sebagai mandat dari UU Nomor 1 Tahun 2015, pilkada serentak akhirnya digelar pertama kali pada 9 Desember 2015, untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2015.
Pilkada serentak ini berlangsung di 269 wilayah yang mencakup 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota di Indonesia.
UU Nomor 1 Tahun 2015 beberapa kali mengalami perubahan, yang terbaru diubah melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. UU ini mempunyai spirit yang sama dengan UU yang sebelumnya yang mengamanatkan pemilihan kepala daerah dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat.
Namun, ada perubahan terkait dengan jadwal pilkada serentak. UU ini mengatur pelaksanaan pilkada serentak dilakukan pada bulan Februari 2017 bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis bulan Desember 2016 dan yang habis 2017.
Lalu, kepala daerah yang terpilih pada pilkada 2017, menjabat sampai tahun 2022. Sementara bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir tahun 2018 dan 2019, maka pilkada serentak dilaksanakan pada Juni 2018. Kepala daerah yang terpilih pada pilkada 2018, menjabat sampai dengan tahun 2023.
Pilkada serentak kembali digelar pada 15 Februari 2017 untuk memilih pemimpin daerah di tingkat provinsi dan juga kabupaten/kota yang masa jabatannya berakhir pada 2016-2017.
Pemilihan kepala daerah di tahun 2017 dilakukan secara serentak di 101 daerah pemilihan yang terdiri dari 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 Kota.
Berdasarkan situs resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), total ada 41.205.115 pemilih di seluruh Indonesia yang terdaftar untuk Pilkada 2017 serentak ini. Mereka memilih di 98.259 TPS, yang tersebar di 30 provinsi.
Pilkada serentak kembali digelar pada 27 Juni 2018 untuk memilih pemimpin daerah di tingkat provinsi dan juga kabupaten/kota.
Pemilihan kepala daerah di tahun 2018 dilakukan secara serentak di 171 daerah pemilihan yang terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.
Penetapan gubernur dan wakil gubernur terpilih dilakukan oleh masing-masing KPUD Provinsi.
Sedangkan penetapan bupati dan wakil bupati terpilih dilakukan oleh KPUD kabupaten dan penetapan wali kota dan wakil wali kota terpilih dilakukan oleh KPUD Kota.
Dari seluruh pasangan calon terpilih, hanya 3 pasangan calon dari jalur independen yang terpilih, yaitu 2 pasangan calon bupati dan wakil bupati serta 1 pasangan calon wali kota dan wakil wali kota.
Pilkada serentak kembali digelar pada 9 Desember 2020 untuk memilih pemimpin daerah di tingkat provinsi dan juga kabupaten/kota.
Pemilihan kepala daerah di tahun 2020 dilakukan secara serentak di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Pilkada 2020 ini berbeda karena mempertimbangkan pelaksanaannya yang dilakukan dalam kondisi pandemi.
Pada periode 2022 dan 2023, pemerintah menempatkan pejabat daerah sebagai kepala daerah sementara hingga berlangsungnya pilkada serentak tahun 2024.
Pada tahun 2022 ada 101 pejabat daerah yang dilantik oleh pemerintah. Sedangkan tahun 2023 ada 170 pejabat daerah yang akan dilantik.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, pilkada secara serentak dilakukan pada tahun 2024.
Ini adalah pertama kalinya pilkada dilakukan secara serentak untuk semua provinsi, kota, maupun kabupaten.
Ada 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada serentak ini.