JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Demokrat memberikan sinyal terkait arah politiknya, yakni mendukung pemerintahan terpilih Joko Widodo-Ma'ruf Amin periode 2019-2024. Namun, dukungan tersebut belum disampaikan secara resmi.
Pernyataan itu disampaikan oleh Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean.
Ferdinand mengungkapkan, dukungan partainya kepada pemerintah diputuskan setelah Istri Ketua Umum Partai Susilo Bambang Yudhoyono, Ani Yudhoyono, meninggal dunia.
"Ya itu sikap resmi dan opsi terdepan. Tapi semua kembali ke Pak Jokowi," kata Ferdinand kepada wartawan, Senin (12/8/2019).
Baca juga: Politisi Demokrat Sebut Arah Politik Partainya Dukung Jokowi-Maruf
"Kapan? Sikap itu sudah resmi diputuskan pasca-40 hari berkabung Demokrat meski tak diumumkan secara resmi, karena menunggu disampaikan secara formal pada saat yang tepat," ucapnya.
Pernyataan Ferdinand menuai banyak respons dari elit politik partai politik. Bahkan dikritik oleh Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan.
Syarief menilai dukungan kepada pemerintahan Jokowi-Ma'ruf atas pendapat pribadi Ferdinand.
Ia pun mengatakan, keputusan partai untuk mendukung pemerintahan terpilih belum disepakati oleh Majelis Tinggi.
Meskipun begitu, ia tak membantah sebagian kader ingin bergabung dengan koalisi pemerintah.
"Ya belum diputuskan sama majelis tinggi, Memang kan pembicaraan kan di antara kader kan ada yang mau masuk ada yang tidak," kata Syarief saat dihubungi, Senin (13/8/2019).
Kendati demikian, beberapa partai dari Koalisi Indonesia Kerja (KIK) ikut berkomentar atas pernyataan Ferdinand tersebut serta melihat peluang masuknya Demokrat dalam koalisi.
PKB: Pasti Ada Power Sharing
Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding mengatakan, persetujuan bergabungnya Demokrat ke koalisi pemerintah bergantung pada kesepakatan Jokowi dan Demokrat, lalu Jokowi dan KIK.
Tujuannya, untuk memudahkan koalisi membahas pembagian kekuasaan atau power sharing dengan adanya partai baru dalam KIK.
Baca juga: Demokrat Ingin Gabung Pemerintah, Bagi-bagi Kekuasaan Pasti Terjadi
Pembagian kekuasaan itu bisa dalam posisi kabinet kerja maupun posisi di legislatif.
"Sudah pasti kalau itu (power sharing), Makanya kan pasti akan dibahas di rapat-rapat nanti. Misalnya apa bentuk bargaining-nya, apakah kabinet, apakah legislatif baik di MPR DPR tentu nanti ada pembicaraan-pembicaraannya," kata Karding saat dihubungi, Selasa (13/8/2019).
PDI-P: Terlambat
Politisi PDI-Perjuangan Andreas Hugo Pareira menilai, keinginan Partai Demokrat untuk bergabung dengan koalisi pemerintah sudah terlambat.
Apalagi, dukungan tersebut baru diberikan usai penetapan pemenang Pilpres 2019 diketahui.
Baca juga: Politisi PDI-P Nilai Demokrat Terlambat Ingin Gabung Koalisi Jokowi
"Seharusnya ini sudah dilakukan sebelum pilpres. Sudah sangat terlambat apabila baru sekarang diekspresikan," kata Andreas saat dihubungi, Selasa (13/8/2019).
Andreas pun menduga dalam dukungan tersebut, Demokrat ingin berupaya mendapatkan kekuasaan dalam Kabinet Kerja Jilid II.
"Pernyataan ini juga bisa diartikan bahwa Partai Demokrat ingin mendukung pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, tentu dengan harapan ada power sharing dalam kabinet nanti," ujarnya.
Nasdem: Incar Kursi Menteri
Ketua DPP Partai Nasdem Irma Suryani Chaniago mengingatkan diterima atau tidak Demokrat dalam koalisi pemerintah harus melalui persetujuan presiden Jokowi dan KIK.
Di sisi lain, Irma menilai dukungan partai Demokrat, karena ingin mengincar jatah kursi menteri dalam Kabinet Kerja Jilid II.
Baca juga: Politisi Nasdem: Diterimanya Demokrat dalam Koalisi Tergantung Jokowi dan KIK
"Sepertinya semua partai politik yang mau gabung ke pemerintah saat ini pasti punya keinginan join di kabinet," kata Irma saat dihubungi, Selasa (13/8/2019).
Namun, Irma mengatakan, sudah sewajarnya Demokrat bergabung dalam koalisi. Sebab, selama Pilpres, Demokrat tak menggunakan politik identitas untuk menyerang Jokowi.
Golkar mendukung
Golkar memberikan respons positif apabila Demokrat bergabung dengan koalisi pemerintah. Kehadiran Demokrat dinilai semakin menguatkan koalisi pemerintah.
"Dengan semakin besar koalisi, tentu itu akan memperkuat posisi pemerintah," kata Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Baca juga: Ketum Golkar: Demokrat Bisa Perkuat Pemerintahan Jokowi-Maruf
Airlangga mengatakan, belum ada pembicaraan elite dalam koalisi mengenai kemungkinan merapatnya Demokrat. Akan tetapi, ia menilai, penambahan partai tak membuat koalisi menjadi gemuk.
Sebab, hal itu diserahkan sepenuhnya kepada Presiden Joko Widodo. "Itu kan tergantung Pak Presiden," kata dia.
PKS Ingatkan Demokrat
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengingatkan Partai Demokrat untuk bertanya pada pendukungnya di akar rumput, sebelum memutuskan mengubah arah politik.
Mardani mengakui, mempertahankan elektabilitas partai memang sulit. Apabila Demokrat tidak berani menjadi parpol pelopor serta menjadi trendsetter, maka akan dengan mudah turun pamornya.
Baca juga: PKS Sarankan Demokrat Tanya Akar Rumput Sebelum Gabung ke Jokowi
"Dalam politik, kalau tidak menjadi leader dan trendsetter, biasanya tidak mendapat banyak kredit dari masyarakat ya. Artinya berpeluang menjadi partai medioker," kata Mardani saat dihubungi, Selasa (13/8/2019).
Hanya sebatas saran, Mardani pun berharap partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono itu memilih oposisi seperti PKS.
Demokrat Tak Akan Untungkan Jokowi
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes menilai, tak ada kebutuhan khusus bagi Jokowi menambah dukungan partai di koalisi dengan merekrut Demokrat.
"Koalisi politik yang gemuk akan membuat Jokowi kerepotan bernegosiasi tentang kebijakan dan program dengan partai-partai koalisi," kata Arya kepada Kompas.com, Selasa (13/8/2019).
Arya menilai posisi politik sudah cukup aman dengan 10 partai pendukung dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK).
Bergabungnya Demokrat dikhawatirkan akan menimbulkan tumbangnya demokrasi di Indonesia. Ditambah sinyal Gerindra dan PAN yang disinyalir akan bergabung.
Koalisi yang gemuk, seperti diungkapkan Arya, juga tak memberikan jaminan akan membuat pemerintahan stabil.
"Dengan koalisi gemuk, misalkan Demokrat bergabung, akan banyak tarik-ulur antar partai dengan Jokowi. Apabila tak sependapat dengan Jokowi, partai akan mudah membangun aliansi baru di internal koalisi yang bisa saja menyulitkan posisi pemerintah," imbuh Arya.