JAKARTA, KOMPAS.com — Perebutan kursi menteri di kabinet Presiden Joko Widodo jilid kedua mulai memanas. Partai politik pengusung Joko Widodo-Ma'ruf Amin mulai menunjukkan penolakan terhadap wacana masuknya parpol pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Beberapa parpol yang disebut tidak menolak jika ditawari masuk ke koalisi pemerintahan ialah Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.
Panasnya perebutan kursi menteri terlihat dari penolakan PKB atas wacana masuknya PAN ke dalam koalisi pemerintahan. Penolakan tersebut disampaikan oleh anggota Dewan Syuro PKB, Maman Imanulhaq.
Menurut Maman, sikap politik PAN tidak konsisten ketika berada dalam sebuah koalisi. Hal itu dapat dilihat ketika PAN masuk dalam koalisi partai pendukung Jokowi pada Pilpres 2014. Namun, pada Pilpres 2019 PAN memilih mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga.
"PKB itu adalah koalisi yang sangat-sangat konsisten, tidak pernah gabung ke sana, masuk tempat menteri, di tengah jalan pindah lagi. Sekarang tiba-tiba mendekat lagi, kayak PAN," kata Maman dalam diskusi bertajuk "Ngebut Munas Parpol" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2019).
Baca juga: PKB Akan Tolak jika PAN Ingin Masuk Koalisi Pemerintah
Oleh sebab itu, ia menyarankan agar partai-partai yang sejak awal tidak mendukung Jokowi-Ma'ruf sebaiknya tetap berada di luar koalisi pemerintahan.
"Menurut saya ada beberapa partai yang sebaiknya tidak masuk (koalisi pemerintah), partai yang tidak jelas, yang cuma merecoki. Daripada nanti mengganggu, lebih baik di sana (di luar koalisi pemerintah) sajalah sebagian," ujarnya.
Penolakan juga muncul dari politisi PDI Perjuangan, Effendi Simbolon. Menurut dia, Partai Gerindra telah lama berbeda sikap dengan PDI Perjuangan. Untuk itu, Effendi berpendapat, akan lebih baik jika Partai Gerindra tetap menjadi oposisi.
"Wong berbeda kok. Kita satu tahun lebih berbeda, dalam tanda petik kita berseberangan. Kasihan rakyatnya dong. Berbeda kan tidak berarti membuat kita bermusuhan," kata Effendi, dalam diskusi yang sama.
Menurut dia, jika Partai Gerindra dipaksakan masuk ke koalisi Jokowi-Ma'ruf, dalam masyarakat akan muncul sikap apatis. Sebab, sejak Pilpres 2014 Partai Gerindra tak pernah ingin masuk dalam koalisi Jokowi.
"Saya pribadi melihat kalau model demokrasi kita seperti ini, ke depan masyarakat kita makin apatis. Wong berbeda, kok bisa satu. Enggak mungkin," ujar Effendi.
Effendi meminta Partai Gerindra konsisten pada posisi di luar koalisi pemerintah. Ia mengatakan, sepanjang memiliki niat yang baik, menjadi oposisi bukan sesuatu hal yang buruk.
"Jadi konsisten sajalah. Pasti sepanjang kita punya niat baik, enggak usah terlalu diakomodir seluruh kebutuhannya," ucap dia.
Baca juga: Terkait Wacana Gerindra Gabung Koalisi Jokowi, Ini Kata Politisi PDI Perjuangan
Karena itu, ia menilai tak perlu dipermasalahkan bila Presiden hendak memperluas koalisinya dengan mengundang parpol-parpol pengusung Prabowo-Sandi untuk bergabung.
"Kalau soal itu tentu menjadi hak prerogatif presiden. Jika Presiden merasa perlu memperluas koalisinya, bisa saja mengundang partai-partai lain untuk bergabung," kata Bara saat dihubungi Kompas.com, Minggu (21/7/2019).
Ia menambahkan, masuknya partai yang bukan pengusung Joko Widodo-Ma'ruf Amin ke dalam koalisi pemerintahan juga penting untuk menguatkan rekonsiliasi.
Baca juga: Ditolak PKB, Waketum PAN Sebut soal Kabinet Hak Prerogatif Presiden
Bara mengatakan, dengan masuknya partai yang tak mengusung Jokowi-Ma'ruf ke dalam kabinet, hal itu akan mengukuhkan rekonsiliasi yang telah dibangun Jokowi dengan pesaingnya saat Pilpres 2019, yaitu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Ia menambahkan, Prabowo dan Jokowi telah menunjukkan upaya rekonsiliasi lewat pertemuan di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu (13/7/2019).
Karena itu, Bara menilai tak masalah jika partai yang tak mengusung Jokowi-Ma'ruf masuk ke kabinet untuk mengukuhkan rekonsiliasi itu. Hanya partai tersebut harus memiliki komitmen mendukung program pemerintah.
"Ini bukan hanya untuk memperkuat posisi pemerintah di parlemen, tetapi juga memperkuat modal sosial dalam hal rekonsiliasi. Masyarakat masih ada yang terluka seusai pilpres dan kita perlu membuka lembaran baru," ujar Bara.
Adapun Partai Gerindra belum memberikan kepastian apakah bersedia masuk ke dalam kabinet. Menurut Wakil Sekjen Partai Gerindra Andre Rosiade, sebagian besar kader di partainya lebih memilih untuk menjadi oposisi.
Namun, ini bukan berarti Partai Gerindra menutup pintu untuk bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf.
Baca juga: Siap-siap ala Gerindra…
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad kemudian menyatakan, partainya akan menawarkan program kepada Jokowi-Ma'ruf jika diajak bergabung.
Apa saja konsep yang ditawarkan Partai Gerindra?
"Konsep kemandirian pangan, ketahanan energi. Pokoknya itu jadikan satu konsep. Kalau konsep mandiri-mandiri itu kemudian diterima (Jokowi-Ma'ruf), lalu kan nanti akan dihitung bidangnya berapa, orangnya berapa, kan begitu," ujar Dasco ketika dihubungi Jumat (19/7/2019).
Jika pemerintahan Jokowi-Ma'ruf bersedia menerima konsep itu, partai berlambang Garuda itu bersedia bergabung. Namun, jika tawaran itu ditolak, Partai Gerindra tetap memilih menjadi oposisi.
Baca juga: Sodorkan Program Ini ke Jokowi, Prabowo Pilih Oposisi jika Ditolak