Dedi Mulyadi: Sebelum Pilpres Oposisi, Setelah Pemilu Jadi Negosiasi

Jumat, 12 Juli 2019 | 13:54 WIB
KOMPAS.com/PUTRA PRIMA PERDANA. Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi-Ma’ruf Amin Jawa Barat Dedi Mulyadi .

BANDUNG, KOMPAS.com - Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi-Ma'ruf Amin Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyindir kader-kader partai yang tidak memiliki konsistensi ideologis. Saat sebelum pilpres menyatakan oposisi, namun setelah pemilu berubah menjadi negosiasi.

"Misalnya, selama kampanya, atas nama ideologi partai itu menjadi oposisi, sehingga kebijakan apa pun yang diambil oleh pemerintah dianggap salah. Tapi setelah pemilu selesai, tiba-tiba karakter itu berubah menjadi negosisasi. Artinya ada inkonsistensi," kata Dedi lantas tertawa melalui sambungan telepon, Jumat (12/7/2019).

Menurut Dedi, para politisi tersebut nyaris membumihanguskan seluruh kinerja pemerintah. Tetapi setelah pemilu, tiba-tiba jadi berubah. Seluruh jargon dan ucapan pedas itu hilang menjadi ruang dialogis yang di dalamnya membahas masalah kursi, baik menteri, pimpinan DPR maupun MPR.

"Itu menunjukkan bahwa platform ideologinya tidak ada," tandasnya.

Lanjut Dedi, perubahan postur jargon kampanye sebelum dan setelah pilpres mencerminkan bahwa partai tidak memiliki platform ideologi yang memadai.

Baca juga: Dedi Mulyadi: Airlangga Bisa Terpilih Jadi Ketum Golkar Secara Aklamasi

 

Sehingga ide-ide besar yang dilemparkan sebelum pemilu dan tiba-tiba ditinggalkan setelah pemilu, mencerminkan bahwa ide-ide dan jargon itu hanya sebagai alat untuk mencari popularitas dukungan tetapi tidak memiliki konsistensi untuk diperjuangkan.

Kehilangan ideologi

Dedi mengatakan setuju pernyataan Jusuf Kalla dalam sebuah pemberitaan yang menyebutkan bahwa partai sudah tidak lagi membicarakan ideologi, melainkan kursi.

Pernyataan itu, kata dia, merupakan sebuah peringatan bagi dirinya dan para politisi lain untuk mengevaluasi tata kelola kepartaian agar memiliki perspektif cara berpikir ideologi yang memadai.

"Karena kita memahami, pragmatisme kepartaian sudah merasuki pikiran para politisi, sehingga masuk ke dunia politik nyaris tanpa cita-cita. Partai hanya melakukan kegiatan sehari-hari, bukan memperjuangakan sebuah platform berpikir tentang ide-ide besar tentang Indonesia, dan ini adalah degradasi dalam sistem politik Indonesia," kata ketua DPD Golkar Jawa Barat ini.

"Partai seperti itu tidak akan besar. Kita bisa memahami, misalnya, PDI-P itu menang dalam pemilu karena konsistensi ideologi. PKS juga kita apresiasi kenapa grafiknya bagus karena ada konsistensi ideologi," lanjut dia.

Dengan demikian, kata Dedi, partai yang memiliki konsistensi ideologi mendapat tempat di ruang publik. Sebaliknya partai yang ideologinya tidak konsisten tidak pernah menjadi partai besar.

"Yang akan memenangkan sebuah pertarungan itu hanyalah petarung," tandasnya.

Menurutnya, kalau partai kehilangan spirit ideologi, maka akan sulit mengajarkan ide-ide kepartaian dalam pendidikan ideologi kader. Ketika pendidikan ideologi tidak ada, maka rekrutmen kader itu akan berdasarkan pada pragmatisme.

"Sehingga partai kehilangan kader militan. Maka partai itu akan mudah kehilangan pendukungnya kalau tidak punya uang dan kekuasaan," katanya.

Menurut Dedi, sekarang sudah saatnya partai harus kembali pada cita-cita dasar pendirian kepartaian. Ide-ide besarnya apa partai itu dibangun agar menjadi partai yang abadi. Ide-ide besar, ideologi, misi dan strategi, harus menjadi nafas yang bergulir dalam sistem kepartaian.

Baca juga: Dedi Mulyadi: 400 Pemegang Suara Munas Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar

Dengan demikian, lanjut Dedi, orang ditempatkan dan tidak ditempatkan pada sebuah jabatan tidak kehilangan semangat dalam memperjuangkan ideologinya. Maka dalam partai itu akan ada keragaman cara berpikir dan melahirkan sumber daya sehingga partai tidak kehilangan pemimpin dalam setiap masa.

"Golkar juga harus kembali pada spirit karya dan kekaryaan dalam bentuk kerangka berpikir ideologis yang diajarkan sebagai sintesa dari konflik ideologi," tandas mantan bupati Purwakarta ini.

Agenda Pemilu 2019

  • 20 September 2018

    Penetapan dan pengumuman pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21 September 2018

    Penetapan nomor urut pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21-23 September 2018

    Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD, DPR, dan DPRD provinsi

  • 24 September-5 Oktober 2018

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 8-12 Oktober 2018

    Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara

  • 23 September 2018-13 April 2019

    Kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga

  • 24 Maret 2019-13 April 2019

    Kampanye rapat umum dan iklan media massa cetak dan elektronik

  • 28 Agustus 2018-17 April 2019

    Pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT)

  • 14-16 April 2019

    Masa Tenang

  • 17 April

    Pemungutan suara

  • 19 April-2 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil tingkat kecamatan

  • 22 April-7 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat kabupaten/kota

  • 23 April-9 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat provinsi

  • 25 April-22 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat nasional

  • 23-25 Mei 2019

    Pengajuan permohonan sengketa di Mahkamah Konstitusi

  • 26 Mei-8 Juni 2019

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 9-15 Juni 2019

    Pelaksanaan putusan MK oleh KPU

  • Juli-September 2019

    Peresmian keanggotan DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD

  • Agustus-Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPRD Kabupaten/kota dan DPRD Provinsi

  • 1 Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPR

  • 20 Oktober 2019

    Sumpah janji pelantikan presiden dan wakil presiden