PAN Dinilai Masih Bimbang Dukung Prabowo atau Jokowi

Rabu, 8 Agustus 2018 | 10:50 WIB
KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Zulkifli Hasan tiba di kediaman Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (25/7/2018).

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menilai, PAN masih bimbang dalam menentukan arah dukungannya dalam Pilpres 2019.

Ray berkaca pada ketidakjelasan PAN hingga saat ini serta kunjungan Ketua Umum Zulkifli Hasan ke Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

"Banyak dugaan, pertemuan ini berhubungan dengan kemungkinan PAN mendukung dan masuk ke dalam koalisi pencapresan Jokowi," kata Ray dalam keterangan tertulisnya, Selasa (7/8/2018).

Ia menilai, sinyal skenario itu tidak sulit untuk diamati, apalagi setelah koalisi Gerindra dan Demokrat terlihat lebih akrab.

Baca juga: Zulkifli Hasan Temui Jokowi, PAN Bantah Merapat ke Koalisi 9 Parpol

Ray bahkan melihat PAN seperti partai penggembira di antara Gerindra dan Demokrat.

"Lama bersama, tapi akhirnya seperti ditinggal begitu saja. Sesuatu yang dapat dipahami perasaan gundah yang dialami pihak PAN," kata Ray.

Namun, ia menilai, jika PAN memutuskan bergabung ke koalisi Jokowi, maka langkah itu dinilainya tidak pas.

Pasalnya, manuver itu akan memunculkan ketidakseimbangan kekuatan kubu oposisi.

Padahal, kata dia, kompetisi politik yang sehat harus menyeimbangkan kekuatan antara kubu pendukung pemerintah dan oposisi.

"Adalah juga penting untuk tetap menjaga posisi oposisi yang kuat. Hal ini merupakan bagian dari memperkuat sistem dan kultur demokrasi kita. Peran penguasa harus diimbangi oleh oposisi yang kuat" kata Ray.

Baca juga: Gerindra Yakin PAN Tetap dalam Koalisi Prabowo

Oleh karena itu, Ray menyarankan, PAN lebih baik berada pada barisan oposisi mengingat kubu Jokowi sudah kuat.

Hal itu guna mewujudkan kompetisi Pilpres 2019 yang lebih kompetitif.

"Menguatkan koalisi Jokowi yang memang sudah kuat akan berdampak pada ketidakseimbangan komposisi. Jika PAN, misalnya, akhirnya merapat ke koalisi Jokowi, kesemarakan pilpres tampaknya akan berkurang," kata Ray.

Meskipun memiliki kader yang berada di kabinet Jokowi, Ray menilai, rekam jejak PAN selama ini cenderung berlawanan dengan sikap kubu pemerintah.

Hal itu semakin terlihat dengan manuver tokoh senior PAN, Amien Rais, yang selama ini selalu mengkritik pemerintahan Jokowi.

"Bahkan kampanye ganti presiden, mempertebal pandangan ini. Saya rasa, secara langsung sikap politik ini mewabah ke tingkat basis. Dan jika pada akhirnya PAN merapat ke koalisi Jokowi, itu membutuhkan penjelasan etis, moral dan tentu saja politis," kata dia.

Baca juga: SBY Ingin PAN-Demokrat Berkoalisi, Zulkifli Tak Kasih Kepastian

Sebelumnya Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengatakan, partainya masih terus berproses dalam memutuskan arah koalisi terkait Pilpres 2019.

“Pokoknya dalam situasi terkait apapun pertama kita masih berproses (arah koalisi Pilpres 2019) hasil belum bisa kita sampaikan ke publik ,”ujar Eddy saat dihubungi Kompas.com, Selasa (7/8/2018).

Menurut Eddy, nantinya keputusan partai akan ditetapkan pada Rapat Kerja Nasional PAN.

Namun di sisi lain, Ketua DPP PAN Yandri Susanto membantah partainya merapat ke koalisi Presiden Joko Widodo di Pilpres 2019.

Hal itu disampaikan Yandri menanggapi pertemuan ketua umumnya, Zulkifli Hasan dengan Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (7/8/2018) sore.

"Enggak ada (merapat ke Jokowi). Kami Insya Allah (mengusung) Prabowo (Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto)," kata Yandri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/8/2018).

Sebagai informasi dalam Pilpres 2014 lalu, PAN bersama Gerindra, Golkar, dan PKS membentuk Koalisi Merah Putih (KMP) mengusung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Namun, pasangan tersebut kalah dari Jokowi-Jusuf Kalla yang meraih perolehan suara 70.997.883 atau 53,14 persen dari total suara sah nasional.

PAN dan Golkar pada akhirnya memutuskan mendukung pemerintahan Jokowi-JK sampai tahun 2019 dan bergabung bersama koalisi partai pendukung pemerintah lainnya, yakni Hanura, PDIP, PPP, Nasdem, dan PKB.

Kompas TV Simak dialognya dalam Sapa Indonesia Malam berikut ini.



Agenda Pemilu 2019

  • 20 September 2018

    Penetapan dan pengumuman pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21 September 2018

    Penetapan nomor urut pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21-23 September 2018

    Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD, DPR, dan DPRD provinsi

  • 24 September-5 Oktober 2018

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 8-12 Oktober 2018

    Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara

  • 23 September 2018-13 April 2019

    Kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga

  • 24 Maret 2019-13 April 2019

    Kampanye rapat umum dan iklan media massa cetak dan elektronik

  • 28 Agustus 2018-17 April 2019

    Pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT)

  • 14-16 April 2019

    Masa Tenang

  • 17 April

    Pemungutan suara

  • 19 April-2 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil tingkat kecamatan

  • 22 April-7 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat kabupaten/kota

  • 23 April-9 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat provinsi

  • 25 April-22 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat nasional

  • 23-25 Mei 2019

    Pengajuan permohonan sengketa di Mahkamah Konstitusi

  • 26 Mei-8 Juni 2019

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 9-15 Juni 2019

    Pelaksanaan putusan MK oleh KPU

  • Juli-September 2019

    Peresmian keanggotan DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD

  • Agustus-Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPRD Kabupaten/kota dan DPRD Provinsi

  • 1 Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPR

  • 20 Oktober 2019

    Sumpah janji pelantikan presiden dan wakil presiden