Pimpinan Komisi III: Arief Hidayat Tak Layak Jadi Hakim MK

Senin, 12 Februari 2018 | 13:34 WIB
Fabian Januarius Kuwado Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa menilai, wajar munculnya desakan dari masyarakat sipil agar Arief Hidayat mundur sebagai hakim Mahkamah Konstitusi.

Desmond menilai, secara etika Arief tidak layak untuk menjadi hakim konstitusi.

"(Desakan) itu sesuatu yang wajar, menurut saya, secara etika orang itu (Arief) tidak layak," ujar Desmond saat ditemui di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (12/2/2018).

(Baca juga : 54 Guru Besar Minta Arief Hidayat Mundur sebagai Hakim MK)

Menurut Desmond, Arief Hidayat harus segera mundur dari jabatannya sebagai hakim MK.

Jika tidak, kata dia, maka publik akan menilai Arief lebih mementingkan soal kekuasaan ketimbang etika.

"Akhirnya nanti kita akan lihat, kalau bertahan berarti kekuasaan lebih penting daripada etik, berarti enggak layak kan dia," kata Desmond.

Selain itu, Desmond juga mengkritik putusan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Arief Hidayat tidak terbukti melakukan lobi-lobi politik saat bertemu dengan pimpinan komisi III.

(Baca juga : Ini Isi Surat 54 Guru Besar yang Minta Arief Hidayat Mundur dari MK)

Pertemuan tersebut terjadi sebelum uji kepatutan dan kelayakan terkait pencalonan kembali Arief Hidayat sebagai Hakim MK.

Menurut Desmond, pada pertemuan tersebut, jelas terjadi lobi antara Arief dan sejumlah pimpinan Komisi III agar Arief terpilih kembali sekaligus tetap menjadi ketua MK.

Saat itu, kata Desmond, Arief mengungkapkan, jika ia tidak terpilih, maka Saldi Isra yang akan memegang jabatan Ketua MK.

"Ya, bukan lobi-lobi lagi itu namanya. Dia (Arief) bilang kalau dia tidak dipilih kembali oleh DPR, maka yang akan jadi ketua di sana dia bilang Saldi Isra. Saldi Isra dianggap oleh orang-orang berpihak pada KPK. Jadi dia seperti memberikan penjelasan agar dipilih kembali," ungkapnya.

Kompas.com masih mencoba meminta klarifikasi dari Arief terkait pernyataan Desmond tersebut.

(Baca juga : Tolak Mundur, Arief Hidayat Pertaruhkan Marwah MK)

Berbagai pihak menyuarakan agar Arief mundur sebagai hakim MK. Terakhir, suara tersebut disampaikan 54 guru besar dan profesor dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga di Indonesia.

Selama menjabat sebagai Ketua MK, Arief Hidayat telah dua kali terbukti melakukan pelanggaran kode etik.

Pada 2016 lalu, Arief Hidayat pernah mendapatkan sanksi etik berupa teguran lisan dari Dewan Etik MK.

Pemberian sanksi dilakukan lantaran Arief dianggap melanggar etika dengan membuat surat titipan atau katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk "membina" seorang kerabatnya.

Di dalam katebelece yang dibuat Arief itu terdapat pesan kepada Widyo Pramono agar bisa menempatkan salah seorang kerabatnya dengan bunyi pesan, "mohon titip dan dibina, dijadikan anak Bapak".

(Baca juga : Selama Jabat Ketua MK, Arief Hidayat Dua Kali Langgar Kode Etik)

Kerabat Arief yang "dititipkan" itu saat ini bertugas di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur, dengan pangkat Jaksa Pratama/Penata Muda IIIC.

Untuk kali kedua, Dewan Etik MK menyatakan Arief terbukti melakukan pelanggaran ringan.

Arief dilaporkan telah melakukan pelanggaran kode etik sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan terkait pencalonannya kembali sebagai hakim konstitusi di DPR, Rabu (6/12/2017).

Atas putusan tersebut, Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Arief. 

Dalam pemeriksaan oleh Dewan Etik, Arief terbukti melanggar kode etik karena bertemu dengan sejumlah pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta.

Arief menghadiri pertemuan tersebut tanpa undangan secara resmi dari DPR, melainkan hanya melalui telepon.

Namun, Arief dinyatakan tidak terbukti melakukan lobi-lobi politik saat bertemu dengan pimpinan komisi III.

Kompas TV Arief dinilai pernah terbukti melanggar etik dan kehilangan kepercayaan dalam memimpin mahkamah konstitusi.





Editor : Sandro Gatra

Agenda Pemilu 2019

  • 20 September 2018

    Penetapan dan pengumuman pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21 September 2018

    Penetapan nomor urut pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21-23 September 2018

    Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD, DPR, dan DPRD provinsi

  • 24 September-5 Oktober 2018

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 8-12 Oktober 2018

    Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara

  • 23 September 2018-13 April 2019

    Kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga

  • 24 Maret 2019-13 April 2019

    Kampanye rapat umum dan iklan media massa cetak dan elektronik

  • 28 Agustus 2018-17 April 2019

    Pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT)

  • 14-16 April 2019

    Masa Tenang

  • 17 April

    Pemungutan suara

  • 19 April-2 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil tingkat kecamatan

  • 22 April-7 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat kabupaten/kota

  • 23 April-9 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat provinsi

  • 25 April-22 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat nasional

  • 23-25 Mei 2019

    Pengajuan permohonan sengketa di Mahkamah Konstitusi

  • 26 Mei-8 Juni 2019

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 9-15 Juni 2019

    Pelaksanaan putusan MK oleh KPU

  • Juli-September 2019

    Peresmian keanggotan DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD

  • Agustus-Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPRD Kabupaten/kota dan DPRD Provinsi

  • 1 Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPR

  • 20 Oktober 2019

    Sumpah janji pelantikan presiden dan wakil presiden