JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti LIPI Syamsuddin Haris berpendapat bahwa saat ini sudah tidak ada lagi alasan rasional bagi warga negara untuk tidak menggunakan hak pilihnya alias golput dalam pesta demokrasi.
Dalam sebuah diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (28/3/2019), ia mengawalinya dengan memaparkan fenomena golput di Indonesia dari sisi historis.
"Golput itu muncul tahun 1970 saat menyongsong Pemilu 1971. Tokoh-tokohnya Arif Budiman, Imam Waluyo dan kawan-kawan. Mereka bermaksud untuk menolak kebijakan rezim otoriter, pada saat itu Soeharto, yang mengintimidasi dan cenderung menutup ruang munculnya oposisi," papar Syamsuddin.
Baca juga: Pidana bagi Orang yang Mengajak Golput Dinilai Ciptakan Rasa Takut
"Bentuk golput saat itu adalah kotak segi lima berwarna putih dan dipasang di jalan-jalan atau tempat umum," lanjut dia.
Saat ini, demokrasi telah berkembang jauh meninggalkan rezim otoritarian pada masa itu. Kini, orang memiliki segala kebebasan dengan tetap diatur dalam peraturan perundangan. Tidak mungkin ada lagi penutupan terhadap ekspresi politik, apalagi munculnya oposisi.
Dengan demikian, Syamsuddin pun berpendapat, golput tak lagi memiliki tempat pada era demokrasi seperti saat ini.
"Apakah kehidupan politik kita kini menutup peluang bagi oposisi? Menutup ruang bagi perbedaan? Apakah ada intimidasi dan mobilisasi dalam memilih? Saya bisa katakan, tidak ada. Sehingga, tidak ada lagi alasan rasional untuk golput," ujar Syamsuddin.
Baca juga: TKN: Imbauan Jokowi supaya Tak Golput adalah Tanggung Jawab Pemimpin
Apalagi, seseorang golput hanya karena munculnya rasa kecewa atau ketidakpuasan terhadap kandidat yang bertarung. Sebab, menurut Syamsuddin, pada prinsipnya pemilu adalah mencegah orang jahat untuk berkuasa. Artinya, pilih saja yang dinilai paling baik.
Jangan sampai setelah Pemilu berlalu dan terpilih sosok pemimpin, kelompok golput itu lalu menuntut sesuatu dari pemerintahan yang sah.
"Jangan sampai di tengah jalan menuntut, oh kebijakan publik ini tidak adil, pembangunan ekonomi melenceng dan sebagainya. Golput itu tidak memiliki perspektif yang jelas, setelah golput lalu apa?" ujar dia.