JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) melarang pengurus parpol untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ini merupakan putusan atas permohonan uji materi Pasal 182 huruf l Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam pasal tersebut, terdapat frasa "pekerjaan lain" dalam persyaratan pendaftaran calon anggota DPD dalam pasal tersebut.
Dalam frasa tersebut tidak dijelaskan secara rinci apakah pengurus partai politik (parpol) diperbolehkan mendaftar sebagai calon anggota DPD.
Menurut MK, ada ketidakpastian hukum terkait tak adanya penjelasan atas frasa "pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, atau hak sebagai anggota DPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan" dalam pasal tersebut.
Baca juga: MK: Pengurus Parpol Dilarang Jadi Anggota DPD
Lalu, bagaimana nasib pengurus parpol yang sudah telanjur mendaftar sebagai calon anggota DPD pada Pemilu 2019?
MK menyatakan dalam amar putusannya hari ini, Senin (23/7/2018), ada kemungkinan pengurus parpol terdampak keputusan tersebut. Terkait hal ini, MK menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat memberikan kesempatan bagi pengurus parpol untuk mengundurkan diri dari keanggotaannya di partai.
"KPU dapat memberikan kesempatan bagi yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan parpol," tulis MK.
Baca juga: Ini Alasan MK Larang Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD
Pengunduran diri tersebut dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang bernilai hukum perihal pengunduran diri yang dimaksud. Dengan demikian, untuk selanjutnya anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu setelahnya yang menjadi pengurus parpol adalah bertentangan dengan UUD 1945.
Uji materi pasal 182 huruf l UU Pemilu diajukan oleh Muhammad Hafidz. Dalam permohonannya, Hafidz menyatakan hingga akhir tahun 2017 lalu, ada 78 dari 132 anggota DPD yang merupakan pengurus parpol.
Dari data tersebut, terlihat yang terbanyak adalah berasal dari Partai Hanura (28 orang), Partai Golkar (14 orang), dan Partai Persatuan Pembangunan atau PPP (8 orang).
Menurut Hafidz, apabila pengurus parpol menjadi anggota DPD, maka akan ada benturan kepentingan. Ujungnya adalah berubahnya original intent atau tujuan awal pembentukan DPD sebagai representasi daerah.