Profil Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 dan Perempuan Pertama di Indonesia

Rabu, 23 Februari 2022 | 18:32 WIB
DOK PDI-P Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato saat pengumuman pasangan calon kepala daerah di kantor PDI-P, Menteng, Jakarta, Rabu (19/2/2020).

JAKARTA, KOMPAS.com - Megawati Soekarnoputri dikenal sebagai Presiden ke-5 Republik Indonesia.

Dialah sosok presiden perempuan pertama RI, dan masih menjadi satu-satunya presiden perempuan sejak Indonesia merdeka hingga saat ini.

Sebelumnya, Megawati merupakan Wakil Presiden ke-8 RI di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Megawati berhasil mengikuti jejak sang ayah, Soekarno, duduk di kursi pemerintahan tertinggi.

Masa kecil dan pendidikan

Megawati lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Ia merupakan putri sulung Soekarno dan Fatmawati.

Baca juga: Megawati Itu Jenaka dan Membentak

Sebagai putri presiden, kehidupan masa kecil Mega banyak dilewatkan di Istana Negara.

Dikutip dari laman Perpustakaan Nasional RI, Megawati begitu lincah dan suka main bola bersama saudaranya, Guntur Soekarnoputra, sejak masa kanak-kanak.

Sebagai anak gadis, dia gemar sekali menari. Kesenangan Mega ini sering ia tampilkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.

Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta.

Baca juga: Guntur Soekarnoputra Ungkap Masa Kecil Megawati: Jago Main Bola

Ia juga pernah belajar di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967), dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972).

Kehidupan pribadi

Megawati pada awalnya menikah dengan pilot berpangkat Letnan Satu Penerbang TNI AU bernama Surendro. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai dua putra bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.

Dalam suatu tugas militer di tahun 1970, Surendro bersama pesawat militernya hilang di kawasan Indonesia Timur.

Peristiwa itu tentu menjadi derita bagi Megawati. Apalagi, kedua buah hatinya masih kecil.

Namun, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria asal Ogan Komiring Ulu, Palembang, bernama Taufik Kiemas, yang lantas menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selama 2009-2013.

Kehidupan Mega dan Taufiq bertambah bahagia dengan lahirnya buah hati, Puan Maharani, yang kemudian menjabat sebagai Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) periode 2014-2019 dan Ketua DPR RI sejak 2019.

Karier politik

Masuknya Mega ke kancah politik telah mengingkari kesepakatan keluarganya. Karena trauma politik di masa sebelumnya, putra-putri Soekarno pernah bersepakat untuk tidak terjun ke bidang politik.

Sebelum bergabung ke partai, Megawati beserta suaminya Taufiq Kiemas adalah pengelola SPBU di Jakarta.

Baca juga: Pasang Surut Hubungan Megawati dan SBY Lebih dari Satu Dekade, Berawal dari Pilpres

Masuknya Megawati ke partai politik bermula dari pertemuannya dengan Sabam Sirait sekitar tahun 1980, saat tak satu pun keluarga Soekarno tampil di dunia politik.

Awalnya Mega menolak untuk bergabung ke partai, namun Sabam kemudian membujuk Megawati melalui suaminya.

Hingga pada 1987, Megawati dan adiknya Guruh Soekarnoputra, masuk dalam daftar calon anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Kala itu, Mega dianggap sebagai pendatang baru di kancah politik. Namun, ia lantas tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI.

Upaya Mega saat itu berhasil. Suara untuk PDI naik, Megawati pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR.

Pada 1993, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI melalui Kongres di Surabaya.

Baca juga: Cerita Pramono Anung tentang Megawati: Pernah Akan Pecat Kader yang Mau Interupsi Pidato SBY

Namun, terjadi konflik internal. Soerjadi yang sebelumnya menjabat Ketua Umum PDI tidak mau kalah.

Soerjadi dan kelompoknya lantas membuat kongres PDI di Medan. Dari situ disepakati bahwa Soerjadi menjadi Ketua Umum PDI terhitung sejak 22 Juni 1996.

Di sisi lain, Megawati tak mau kalah. Ia menyatakan tidak mengakui Kongres Medan dan menegaskan bahwa dirinya adalah Ketua Umum PDI yang sah.

Dualisme kepemimpinan pun tak terhindarkan. Konflik ini berujung bentrok antara masing-masing pendukung di Kantor DPP PDI pada 27 Juli 1966, yang lantas disebut sebagai peristiwa Kudatuli.

Namun demikian, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997.

Baca juga: Cerita Megawati Kampanya saat Orde Baru dan Dianggap Partai Sendal Jepit

Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI pimpinan Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan.

Singkat cerita, partai politik berlambang banteng itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih 30 persen suara.

Megawati pun terus menuju puncak kariernya. Pada 23 Juli 2001, MPR secara aklamasi menempatkannya sebagai Presiden ke-5 RI menggantikan Gus Dur.

Kala itu, presiden belum menggunakan sistem pemilihan langsung, melainkan dipilih oleh MPR.

Setelah menuntaskan masa tugasnya sebagai orang nomor satu di Indonesia pada 20 Oktober 2003, Megawati menjajal peruntungannya di Pilpres 2004 berpasangan dengan Hasyim Muzadi.

Namun, ia dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla yang tak lain adalah dua menteri Mega di Kabinet Gotong Royong.

Baca juga: Ingat Bung Karno, Megawati Harap Tak Ada Lagi Pemimpin yang Diperlakukan Tidak Adil

Tak menyerah, Mega kembali mencalonkan diri sebagai presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto di Pilpres 2009. Namun, lagi-lagi ia dikalahkan oleh SBY yang menggandeng Boediono.

Kini, Megawati masih duduk di tahta tertinggi PDI-P sebagai ketua umum.

Sejumlah jabatan lain juga diemban Mega seperti Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), hingga Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Penulis :

Agenda Pemilu 2019

  • 20 September 2018

    Penetapan dan pengumuman pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21 September 2018

    Penetapan nomor urut pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21-23 September 2018

    Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD, DPR, dan DPRD provinsi

  • 24 September-5 Oktober 2018

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 8-12 Oktober 2018

    Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara

  • 23 September 2018-13 April 2019

    Kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga

  • 24 Maret 2019-13 April 2019

    Kampanye rapat umum dan iklan media massa cetak dan elektronik

  • 28 Agustus 2018-17 April 2019

    Pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT)

  • 14-16 April 2019

    Masa Tenang

  • 17 April

    Pemungutan suara

  • 19 April-2 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil tingkat kecamatan

  • 22 April-7 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat kabupaten/kota

  • 23 April-9 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat provinsi

  • 25 April-22 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat nasional

  • 23-25 Mei 2019

    Pengajuan permohonan sengketa di Mahkamah Konstitusi

  • 26 Mei-8 Juni 2019

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 9-15 Juni 2019

    Pelaksanaan putusan MK oleh KPU

  • Juli-September 2019

    Peresmian keanggotan DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD

  • Agustus-Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPRD Kabupaten/kota dan DPRD Provinsi

  • 1 Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPR

  • 20 Oktober 2019

    Sumpah janji pelantikan presiden dan wakil presiden