JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri berpotensi terpilih kembali dalam Kongres ke V PDI-P di Hotel Inna Grand Bali Beach 8-11 Agustus 2019.
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, sebagian besar kader masih menginginkan Megawati kembali menjadi ketua umum partai.
Menurut dia ada tiga faktor yang membuat Megawati tetap diinginkan memimpin partai berlambang banteng itu.
Baca juga: Hasto: Aspirasi dari Bawah Ingin Megawati Jadi Ketum PDI-P Lagi
Ketiga faktor ini membuat Megawati dianggap masih mampu membawa stabilitas bagi partai dan menjawab berbagai tantangan serta dinamika politik nasional.
Pertama, sejarah menunjukkan bahwa Megawati adalah sosok yang pertama kali melakukan blusukan sebelum istilah itu dipopulerkan oleh Presiden Joko Widodo.
Saat mendirikan PDI-P pada 1999 dan memisahkan diri dari PDI pimpinan Soerjadi, Megawati berkeliling ke seluruh pelosok Indonesia. Ia membangun struktur partai dari pasis yang paling bawah dengan melantik koordinator kecamatan.
"Sejarah juga menunjukkan bagaimana Ibu Megawati Soekarnoputri membangun PDI-P yang dimulai dari PDI dengan menyentuh hal yang paling elementer yaitu adalah membentuk struktur dari basis yang paling bawah," ujar Hasto saat ditemui di kantor DPP PDI-P, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (1/8/2019) malam.
"Ketika orang belum mengenal istilah blusukan yang dipopulerkan Pak Jokowi, Bu Mega sudah melakukan blusukan dalam jalan sunyi saat itu karena kecurigaan yang berlebihan terhadap kepemimpinan Bu Mega. Beliau keliling ke seluruh pelosok Indonesia, melantik Korcam," tuturnya.
Faktor kedua, yakni pandangan masyarakat dan simpatisan yang menganggap sosok Megawati sebagai tokoh perlawanan terhadap pemerintahan yang otoriter.
Baca juga: Perjalanan Politik Megawati, dari Pengusaha Pom Bensin hingga Penguasa Medan Merdeka Utara
Keputusan untuk mendirikan PDI-P pada tahun 1999 tak bisa dilepaskan dari sikap Megawati saat itu yang tak sejalan dengan Pemerintahan Presiden Soeharto.
Ketiga, kata Hasto, Megawati telah menjadi simbol pergerakan dari arus bawah. Hal tersebut masih terus melekat pada diri Megawati dan bertahan hingga kini.
"Bu Mega saat itu menjadi gambaran sebagai tokoh pembebas melawan berbagai bentuk pemerintahan yang otoriter bahkan Ibu Mega dianggap sebagai representasi suara diam dari rakyat yang tidak bisa menyuarakan hak-hak politiknya," kata Hasto.