Komedi Kepala Daerah Dipilih DPRD

Rabu, 18 April 2018 | 08:59 WIB
KOMPAS/JITET Ilustrasi situasi publik atas UU Pilkada pada 2014, antara pemilihan langsung dan pemilihan kembali lewat DPRD.

AGAK unik memang risiko berbicara mahar politik pilkada hari ini. Ternyata ujung-ujungnya, saat bicara tentang bagaimana agar biaya politik pilkada bisa semakin murah alias low cost, pelabuhannya adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD.

Terdengar terlalu pasrah, memang. Tapi apa daya, sudah banyak yang mencoba mengajukan ide ini sedari rezim sebelumnya. Menjadi sangat lucu jika kondisinya fait accompli demikian.

Maraknya mahar politik dan terbilang mahalnya pembiayaan untuk menuju posisi kepala daerah tentu tak serta-merta dijawab dengan mengembalikan amanat pemilihan kepala daerah kepada DPRD.

Bukankah itu justru akan menimbulkan kesan bahwa kita memang malas membenahi tata kelola pilkada? Perkara pembiayaan politik pilkada yang mahal tentu bisa disebabkan oleh banyak faktor.

Lantas, apakah faktor utamanya adalah karena kepala daerah tidak dipilih oleh DPRD sehingga kontestasi pilkada langsung menjadi mahal? Saya kira jawabannya tidak mutlak, "Ya".

Okelah, mari kita coba raba dan hitung kasar pos pengeluarannya. Sebut saja yang sering jadi pembicaraan adalah mahar untuk DPP partai.

Jelas hal tersebut bukan perkara pilkada, tapi perkara DPP dan kandidat. Jika tak ada supply dan demand atas mahar antara DPP partai dan bakal calon, maka cerita akan berbeda toh.

Lalu soal ongkos teknis, seperti biaya saksi dan biaya electability generating (kampanye dalam berbagai bentuk). Yang akan sedikit menyulitkan adalah soal biaya saksi.

Perkara ini harus didudukkan oleh semua stakeholder agar dapat solusi yang pas. Namun, saya kira, angkanya tak akan jauh berbeda dari angka yang harus dikeluarkan oleh bakal calon untuk mengakali 51 persen lebih suara di DPRD, jika kepala daerah ditentukan oleh DPRD.

Kemudian soal biaya elektabilias. Untuk pos satu ini, sebaiknya dipasarbebaskan secara terbatas.

Tak menutup kemungkinan pemerintah melahirkan aturan bahwa ada porsi pembiayaan minimal dari negara setelah si kandidat dinyatakan lolos. Setidaknya, pembiayaan minimal untuk ikut terlibatnya kandidat baik, populer, dan cocok untuk daerah dengan jumlah yang sama untuk setiap calon.

Ada pula porsi yang diperjuangkan oleh kandidat itu sendiri sebagai pertanda bahwa calon tersebut memang berjuang untuk menjadi kepala daerah.

Walaupun sebenarnya tokoh atau calon yang memang sudah bekerja, atau calon yang namanya sudah terungkit oleh bukti bakti, tentu akan menggelinding melebihi hasil kerja instrumen-instrumen kampanye berbayar. Apalagi jika terdapat sinergi yang sangat mesra antara calon dan mesin partai.

Tentu tetap ada pengeluaran untuk pos tersebut, tetapi bagi calon yang memang sudah disebut-sebut namanya oleh masyarakat daerah sudah barang tentu pula mereka sudah membuktikan sesuatu. Sehingga, biaya electability generating diperkirakan tak sebesar kandidat yang tak dikenal dan tak pernah berbuat apa-apa di daerah tersebut.

Maka dengan logika ini, diperkirakan akan lahir calon-calon yang memang menyadari dirinya populer dan berpeluang untuk dipilih karena ada nilai di dalam dirinya yang dianggap penting oleh masyarakat daerah.

Dengan logika ini pula, kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa jika ada calon-calon yang sangat royal untuk membombardir masyarakat dengan instrumen-instrumen kampanye berbayar alias berbiaya, maka itu adalah pertanda bahwa mereka belum banyak bekerja. Sehingga, mereka membutuhkan instrumen pengungkit (leverage instrument) untuk mendapat banyak perhatian.

Jika ada calon baru yang ingin menumbangkan petahana, yang kebetulan dianggap oleh publik sebagai petahana berprestasi, maka tak pelak perlu kreativitas politik yang jauh lebih mumpuni alias tak melulu soal dana yang diharuskan lebih besar ketimbang yang dimiliki petahana.

Artinya, partai bisa saja membuat biaya kontestasi lebih murah. Mesin partai sudah seharusnya bekerja mendukung kandidat-kandidat yang mereka berikan rekomendasi tanpa biaya tinggi karena memang itulah salah satu tugas penting partai, yakni rekrutmen politik.

Sebagaimana pernah diucapkan oleh Fahri Hamzah belum lama ini bahwa partai adalah mesin pembakar uang paling masif, maka saya kira di tangan partai pula lah jawaban untuk persoalan biaya kontestasi pilkada yang mahal tadi berada, bukan di ranah demokrasi elektoral lokal.

Dan yang lebih penting, karena partai adalah satu-satunya jalur menuju DPR yang notabene punya wewenang legislasi dan budgeting, maka partai berhak mengajukan peraturan baru (UU baru atau revisi UU lama) soal pembiayaan partai di mana negara membiayai operasionalisasi fungsi-fungsi utama partai, termasuk rekrutmen politik.

Kemudian, partai via DPR pun berwenang mengajukan legislasi soal pembiayaan minimal calon-calon kepala daerah yang telah mendapat rekomendasi dari partai-partai tadi.

Boleh jadi ajuan tersebut tidak gratis. Sebagai komitmen resiprokalnya, partai pun harus siap dimintakan untuk membenahi tata kelola rekrutmen politiknya.

Pertama, partai harus bersepakat menghilangkan mahar dan bersedia diaudit secara profesional, terutama terkait dana APBN untuk aktivitas politik partai. Selain diaudit, baik partai maupun kandidat harus membuka laporan keuangannya atau fact sheet kekayaannya kepada publik.

Di sisi lain, partai-partai di tingkat lokal harus melakukan konvensi untuk menemukan calon kepala daerah yang akan mereka usung, misalnya, lengkap dengan kawalan media-media.

Jika perlu dilakukan plebisit internal dengan pembagian porsi suara DPP, DPW, dan DPD. Misalnya di tingkat kabupaten di mana pilkada akan dilangsungkan, DPD punya porsi suara 50 persen, DPW dan DPP 25 persen. Porsi terbanyak akan menentukan kepada siapa surat rekomendasi diluncurkan.

Untuk itu, beberapa waktu sebelumnya partai harus mengeluarkan kriteria strategis dan teknis untuk posisi calon kepala daerah yang akan mereka usung.

Kriteria itu ditembuskan kepada KPU dan semua stakeholder, bahkan jika perlu diumumkan ke publik dengan instrumen-instrumen humas partai yang ada.

Tujuannya agar dapat menjadi patokan apakah calon yang mendapat rekomendasi sudah memenuhi syarat atau belum dan lain-lain.

Saya kira, masih banyak cara yang patut kita uji cobakan demi mengikis penebalan pembiayaan politik pilkada.

Pertanyaannya, apakah partai bersedia untuk itu? Apakah partai bersedia memperjuangkannya di DPR?

Jika partai tak bersedia, atau mengatakan sangat sulit memperjuangkan segala kemungkinan yang ada, maka kita pun akan belajar untuk mewajarkan mengapa pilkada harus dikembalikan kepada DPRD alias cari enaknya, tidak mau berjuang, tetapi melulu mengeluh.

Atau, boleh jadi partai-partai sebenarnya justru menikmati banyak hal di balik pilkada langsung tersebut. Tidak ada yang benar-benar mengetahuinya, selain partai itu sendiri dan Tuhan.

Perkara urgensi dan signifikansi pemilihan langsung kepala daerah rasanya tak perlu kita perdebatkan lagi. Toh bagi daerah, gubernur, bupati, pun wali kota dianggap sebagai presiden-presiden kecil.

Nah, jika presiden saja harus dipilih langsung, lantas mengapa hak rakyat untuk menentukan kepala daerahnya secara langsung harus dipersoalkan pula?

Demokrasi langsung yang berbiaya tinggi tak melulu soal demokrasi langsung itu sendiri, boleh jadi tata kelola dan pelaku-pelaku dalam tata kelolanya yang memang menikmati kemahalan demokrasi langsung tersebut.

Agenda Pemilu 2019

  • 20 September 2018

    Penetapan dan pengumuman pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21 September 2018

    Penetapan nomor urut pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21-23 September 2018

    Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD, DPR, dan DPRD provinsi

  • 24 September-5 Oktober 2018

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 8-12 Oktober 2018

    Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara

  • 23 September 2018-13 April 2019

    Kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga

  • 24 Maret 2019-13 April 2019

    Kampanye rapat umum dan iklan media massa cetak dan elektronik

  • 28 Agustus 2018-17 April 2019

    Pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT)

  • 14-16 April 2019

    Masa Tenang

  • 17 April

    Pemungutan suara

  • 19 April-2 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil tingkat kecamatan

  • 22 April-7 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat kabupaten/kota

  • 23 April-9 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat provinsi

  • 25 April-22 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat nasional

  • 23-25 Mei 2019

    Pengajuan permohonan sengketa di Mahkamah Konstitusi

  • 26 Mei-8 Juni 2019

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 9-15 Juni 2019

    Pelaksanaan putusan MK oleh KPU

  • Juli-September 2019

    Peresmian keanggotan DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD

  • Agustus-Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPRD Kabupaten/kota dan DPRD Provinsi

  • 1 Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPR

  • 20 Oktober 2019

    Sumpah janji pelantikan presiden dan wakil presiden