Pilkada Lewat DPRD Dinilai Tak Atasi Politik Uang, Ini Saran Perludem

Rabu, 11 April 2018 | 11:41 WIB
KOMPAS.com/ MOH NADLIR Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini dalam diskusi di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (21/3/2018).

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan, biaya politik tinggi tidak bisa dijadikan alasan untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung menjadi pilkada lewat DPRD.

Titi menilai, justru para calon kepala daerah yang sering menjebak dirinya sendiri dalam ongkos politik yang mahal.

"Sekali lagi, biaya politik tinggi yang menjebak kepala daerah, justru dikeluarkan untuk hal-hal yang haram dilakukan dalam hukum pilkada," kata Titi dalam keterangan resminya, Rabu (11/4/2018).

Menurut dia, DPR dan pemerintah akan jauh lebih produktif jika melakukan perbaikan terhadap sistem pemilihan kepala daerah yang telah ada.

(Baca juga: Wacana Pilkada Lewat DPRD Dinilai untuk Hindari Politik Uang dan Korupsi)

Pertama, keduanya perlu membangun norma hukum di dalam Undang-Undang Pilkada untuk menjatuhkan sanksi bagi partai atau calon yang terlibat dalam mahar politik.

"Tidak lagi mesti pemberian uang selesai dilakukan. Tetapi, bagi partai politik, jika sudah ada permintaan uang kepada partai politik terkait pencalonan, sanksi tegas sudah bisa dijatuhkan," kata Titi.

Hal yang sama juga akan berlaku bagi calon kepala daerah. Menurut Titi, apabila calon menawarkan janji pemberian tertentu kepada partai politik, maka bisa dikenakan sanksi yang tegas.

Kedua, Perludem meminta DPR dan pemerintah membangun pengaturan belanja kampanye di dalam Undang-Undang Pilkada. Dengan adanya pembatasan belanja kampanye, maka akan melengkapi ketentuan pembatasan sumbangan yang ada di dalam undang-undang sebelumnya.

"Ketiga, menguatkan aparatur penegakan hukum pemilu, untuk lebih tegas melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran kampanye, khususnya dana kampanye yang tidak jujur, serta penjatuhan sanksi kepada pelaku politik uang," ujar dia.

(Baca juga: Wacana Sistem Pilkada Lewat DPRD yang Kontraproduktif)

Ilustrasi PilkadaKOMPAS/PRIYOMBODO Ilustrasi Pilkada
Titi juga menegaskan bahwa perdebatan terkait dengan mekanisme pemilihan kepala daerah langsung atau melalui DPRD adalah diskursus yang sudah tuntas pada 2014 silam.

Pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan perdebatan tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.

"Jika wacana mekanisme pemilihan kepala daerah kembali diperdebatkan, ini adalah langkah mundur," kata Titi.

Ia menganggap mencuatnya wacana itu justru semakin memperkeruh pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Terkait dengan alasan biaya politik yang tinggi, Titi juga menganggap alasan tersebut perlu dilihat secara serius, apakah persoalan ini berasal dari sistem pemilihan kepala daerah langsung atau tidak.

"Dari fakta yang terjadi, biaya politik yang tinggi, justru dikeluarkan oleh calon kepala daerah untuk hal-hal sudah dilarang di dalam UU Pilkada," kata Titi.

(Baca juga: PPATK Temukan Transaksi Keuangan Mencurigakan Diduga Terkait Pilkada)

Titi pun mempertanyakan mengapa elite politik harus mengorbankan kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpin daerahnya melalui pilkada langsung.

"Lalu, ketika biaya politik tinggi itu disebabkan oleh partai politik, dan perilaku oknum kepala daerah sendiri, mengapa daulat rakyat untuk menentukan pemimpin daerahnya yang mesti direnggut?" kata Titi.

Perludem melihat pemahaman elite politik atas wacana ini cenderung tidak tepat. Ia pun khawatir wacana ini bisa berdampak buruk dan menghasilkan kekeliruan. Titi menyarankan agar DPR dan pemerintah fokus melakukan perbaikan terhadap sistem pemilihan kepala daerah.

Kompas TV Presiden Joko Widodo meminta ulama membantu pemerintah mendinginkan iklim politik jelang Pilkada serentak 2018.



Editor : Bayu Galih

Agenda Pemilu 2019

  • 20 September 2018

    Penetapan dan pengumuman pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21 September 2018

    Penetapan nomor urut pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21-23 September 2018

    Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD, DPR, dan DPRD provinsi

  • 24 September-5 Oktober 2018

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 8-12 Oktober 2018

    Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara

  • 23 September 2018-13 April 2019

    Kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga

  • 24 Maret 2019-13 April 2019

    Kampanye rapat umum dan iklan media massa cetak dan elektronik

  • 28 Agustus 2018-17 April 2019

    Pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT)

  • 14-16 April 2019

    Masa Tenang

  • 17 April

    Pemungutan suara

  • 19 April-2 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil tingkat kecamatan

  • 22 April-7 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat kabupaten/kota

  • 23 April-9 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat provinsi

  • 25 April-22 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat nasional

  • 23-25 Mei 2019

    Pengajuan permohonan sengketa di Mahkamah Konstitusi

  • 26 Mei-8 Juni 2019

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 9-15 Juni 2019

    Pelaksanaan putusan MK oleh KPU

  • Juli-September 2019

    Peresmian keanggotan DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD

  • Agustus-Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPRD Kabupaten/kota dan DPRD Provinsi

  • 1 Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPR

  • 20 Oktober 2019

    Sumpah janji pelantikan presiden dan wakil presiden