Berharap Rekonsiliasi Politik Usai Puasa dan Lebaran

Sabtu, 15 Juni 2019 | 11:41 WIB
SHUTTERSTOCK Ilustrasi.


LEBARAN baru saja lewat. Orang silih berganti silaturahmi. Saling berjabat tangan dan bersalam-salaman. Salam-salaman memang acapkali menjadi tradisi lebaran. Dengan salaman, konon dosa-dosa masa lalu termaafkan.

Dalam Islam, Lebaran dianggap sebagai titik awal kesucian diri. Setelah sebulan penuh menempuh ujian, orang-orang kembali fitri, menjadi suci.

Lebaran kali ini akan lebih terasa istimewa andai elite melakukan tradisi serupa. Konflik yang meluas di masyarakat akhir-akhir ini tidak terlepas dari perselisihan yang terjadi di antara mereka. Bila fragmentasi antar elite berhasil diakhiri, masyarakat akan kembali harmoni.

Kilas balik puasa kita

Ramadhan kita, yang seiring bersamaan momentum politik, telah menyuguhkan nuansa berbeda. Kita harus akui, ramadhan kali ini sesak dengan permusuhan.

Kita tidak hanya dipertunjukan ragam ekspresi orang menahan lapar dan dahaga, sebab tidak makan-minum sejak terbit hingga fajar terbenam. Tapi juga dipertontonkan ragam orang, dengan bermacam-macam latar partai, belomba-lomba menggapai puncak kekuasaan.

Tak aneh, sepanjang puasa, kita kenyang mendengar berbagai umpatan, fitnah, serta dusta-dusta yang disebar.

Ramadhan yang diidamkan tak pernah ada. Ramadhan kita penuh duka. Kita menyaksikan  sendiri delapan jiwa meninggal menjadi martir gesekan politik di sebuah kerusuhan tepat di pertengahan puasa. Ini merupakan sebuah katastrofi yang akan terus diingat sebagai luka ramadhan kita.

Bahkan jauh sebelumnya, beberapa hari menjelang puasa, ratusan KPPS mangkat lebih awal atas dalih demokrasi. Mereka kelelahan, bekerja sejak pagi buta hinga pagi buta keesokannya. Bekerja dengan loyalitas guna memastikan rasa damai dalam keberlangsungan pemilu kita.

Menjelang lebaran, pertarungan antar elite belum juga surut. Pasca kerusuhan dan cara barbar tak memberi dampak, elite coba peruntungan di jalur lain. Kini mereka sodorkan keberatannya secara konstitusional. Melalui Mahkamah Konstitusi.

Setelah MK nanti, seperti mudah dibaca, hiruk pikuk politik ini tidak akan berakhir dengan serta merta. Keriuhan jelas akan bergeser ke parlemen.

Ini sudah menjadi pola yang berulang. Plot politik mudah ditebak. Seperti pemilu lalu, kita pun disuguhkan konflik sengit perebutan kursi pimpinan DPR, antara KMP-KIH. Pasca gugatan KMP gagal di MK. Dialektik kehidupan politik kita akan terus seperti ini. Tidak ada damai yang abadi, hanya akan ada konflik yang abadi.

Pasca-Lebaran

Konflik politik yang mengakar sampai bawah ini harus segera dihentikan. Momen lebaran dianggap waktu tepat untuk rekonsiliasi politik pasca-pemilu yang terpolarisasi.

Dalam tren literatur, rekonsiliasi sebetulnya lebih sering dihubungkan dengan beragam masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu, seperti kejahatan perang, genosida, dan konflik sipil.

Namun ini bukan berarti pembicaraan mengenai rekonsiliasi tidak cocok bila dikaitkan dengan polarisasi politik yang puncaknya tampak dalam kerusuhan 22 Mei lalu.

Peristiwa tersebut tetap memerlukan rekonsiliasi karena penyebab terjadinya kerusuhan merupakan impak dari friksi tajam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Masyarakat sudah terbelah sedemikian rupa sehingga memerlukan rekonsiliasi untuk mencegah konflik semakin parah. Gejala dan potensi akan adanya perpecahan ke arah yang lebih luas sudah ada.

Ini terekam tatkala salah seorang tokoh Aceh, Muzakir Manaf mengusulkan diadakannya referendum beberapa waktu pasca-pemilu. Usul ini ditengarai berbagai pihak erat kaitannya dengan kekecewaannya atas kekalahan kandidat yang dia usung dalam musim pilpres ini. Karena itu, rekonsiliasi merupakan hal yang mesti diupayakan supaya gejala ini tidak menyebar.

Memang, membicarakan rekonsiliasi politik terkadang masih dianggap hal sensitif dan tabu di negara-negara demokrasi. Khususnya di negara-negara demokrasi yang rentan.

Sebab, dengan menggali kembali luka lama, hal itu dianggap membahayakan prospek institusionalisasi demokrasi yang sedang berjalan serta dikhawatirkan menganggu proses pembangunan jangka panjang (David, A. Crocker, 1999).

Namun, paradigma Crocker seperti itu hanya akan berlaku ketika friksi berada pada posisi paling akut serta mengkhawatirkan, dengan kasus-kasus besar seperti Gerakan 30 September dan pembantaian masal para anggota PKI.

Memahami rekonsiliasi

Adapun kasus 22 Mei lalu, meski tidak bisa disimplifikasi sebagai peristiwa kecil, tapi setidaknya hal itu masih dapat dikelola dengan baik bila elite memiliki political will untuk saling bertemu.

Menurut Coleen Murphy (2007) rekonsiliasi sendiri dimaknai sebagai upaya guna memperbaiki kembali hubungan yang rusak di masyarakat, menghindari terjadinya pembalasan, dan agar tak terulang di masa datang.

Rekonsiliasi berupaya untuk mengatasi kebencian, kemarahan, serta permusuhan lewat  pencarian pola komunikasi yang sesuai antara dua belah pihak sehingga pertikaian tidak lebih dalam, mengaleniasi keduanya.

Secara etik, rekonsiliasi bukan berarti menafikan hukuman kepada pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab. Rekonsiliasi menurut Coleen juga bukanlah sebuah pengampunan terhadap sebuah kesalahan. Penegakan hukum harus tetap berjalan.

Rekonsiliasi malah merupakan konsep perbaikan hubungan dengan tetap menunjung dan  hormat pada hukum yang berlaku. Supremasi hukum tetap menjadi penting sebab ia satu-satunya penyangga harmoni kehidupan. Rekonsiliasi, kurang lebih merupakan cara, yang juga mendorong konsensus bersama pada penyelesaian hukum secara adil.

Langkah konkret

Untuk merealisasikan upaya rekonsiliasi secara konkrit, sesederhananya itu dilakukan lewat pertemuan dan tatap muka. Tapi juga ada beberapa komitmen yang mesti dipenuhi elite.

Pertama, menghentikan ujaran-ujaran provokatif. Ujaran provokatif memberikan sumbangsih besar pada munculnya dikotomi dan friksi tajam di masyarakat bawah. Ujaran provokatif sukes menghasilkan dua kelompok militan ekstrem antar dua kubu yang bertarung.

Konflik antar masyarakat tampak jelas dari perdebatan yang riuh yang melibatkan dua simpatisan di berbagai kanal forum. Terlebih, perdebatan tersebut masuk ruang-ruang privat kerabat, sanak, dan keluarga.

Grup-grup watshap dipenuhi cacian, umpatan, serta berbagai reaksi yang saling  bertaut. Sebagian di antaranya, hingga berani memutus tali silaturahmi di antara mereka.

Satu keluarga di Gorontalo bahkan mempertontonkan kepada kita bagaimana friksi ini (meski ini terkait beda pilihan caleg) sampai mendorong tindakan paksa pemindahan makam  hanya karena  beda pilihan.

Selanjutnya, kedua, proses rekonsililiasi yang dilakukan elite juga mesti dibarengi dengan sikap saling menghormati meski berbeda pandangan.

Mewujudkan rasa saling menghormati juga berarti menciptakan rasa saling percaya di antara mereka. Bahwa perselisihan dan perbedaan dapat diselesaikan dengan terlembaga.

Sebab bila diteliti dengan seksama, fenomena pilpres 2019 telah menjadi puncak rusaknya kohesi struktur lapisan masyarakat. Kerusuhan 22 Mei menjadi bukti konkrit bahwa modal sosial masyarakat yang sejak lama dibangun, runtuh seketika.

Ilustrasi.SHUTTERSTOCK Ilustrasi.

Ini akibat tiga elemen modal sosial yang disebut Robert Putnam (1993) seperti jaringan informasi, norma, jalinan kepercayaan,  yang telah dianut masyarakat bertahun-tahun, direbaki kecurigaan. Tidak ada lagi rasa saling percaya. Sehingga ini berdampak pada proses delegitimasi masyarakat bukan hanya kepada sesama mereka tapi juga terhadap lembaga-lembaga demokrasi.

Dengan adanya sikap saling menghormati di antara elite, ini akan memulihkan kembali modal sosial di masyarakat. Diharapkan, masyarakat tidak lagi menaruh rasa saling curiga. Yang selanjutnya berdampak pada pulihnya kepercayaan mereka pada institusi demokrasi.

Mengambil amsal dari rekonsiliasi antara suku pribumi dan imigran pendatang seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Australia, argumen Vernada memberikan masukan cukup baik.

Menurutnya, untuk mencapai rekonsiliasi di antara mereka,  diperlukan sikap saling menghormati dan rekognisi atas nilai moral yang dianut secara setara, baik antara imigran dan penduduk asli (Ernesto Verdeja, 2017).

Kaitannya dengan pilpres kita adalah bahwa pemenang harus mengakui pola hubungan mereka dengan pihak-pihak yang kalah tetap dalam posisi equal, horizontal, adil. Tidak berat sebelah dan tidak ada pilih kasih dalam hukum atau kebijakan.

Tidak ada lagi penganak-tirian karena orang-orang pada salah satu kubu bukanlah barisan pendukung pemenang. Merangkul yang kalah merupakan rekognisi penting guna mencapai rekonsiliasi.

Ia juga menandakan adanya pengakuan yang seimbang sebagai bangsa yang satu. Sehingga tidak ada lagi sekat yang memisahkan atau bahkan pembulian terhadap kelompok yang kalah. Sekaligus menghindari persepsi seolah-olah orang-orang kalah tidak mempunyai hak yang sama pasca kekalahannya.

-SHUTTERSTOCK -

Selanjutnya, ketiga, elite juga harus menjaga komitmen mereka terhadap pemberantasan hoaks dan cara-cara politik kotor.

Sepanjang estafet pemilu ini, elite selalu menyuguhkan cara-cara machiavelian dalam strategi politik mereka. Cara anomali ini sebetulnya sudah terendus sejak pilpres 2014 lalu dan kemudian mencapai titik kulminasi dalam pilgub jakarta 2017.

Paradigma ini dipakai melalui sebaran propaganda hoax dan ujaran kebencian. Praktik ini juga dipertontonkan elite dengan ramai-ramai menggandeng para agamawan. Melibatkan mereka ke dalam politik praktis berarti memungkinkan terjadinya benturan antara sekte aliran keagamaan, khususnya dalam islam (modernis, tradisionalis, konseratif).

Kaum agamawan dianggap memiliki peran sentral terhadap lapisan masyarakat bawah dengan masing-masing basis massa. Retorika dan dalil-dalil agama dimanfaatkan sebagai tameng yang melegitimasi kekuatan politik elite.

Makanya, politik sebagai entitas profan perlahan menjadi sakral. Tak pelak cara-cara tersebut menyeret sentimen antar masyarakat menjadi lebih dalam. Pasalnya agama begitu melekat dalam kehidupan sosial masyarakat kita.

Meski saya tidak sepenuhnya yakin setelah diadakannya rekonsiliasi, konflik politik pun akan berakhir. Tapi ke depan, bila poin-poin komitmen tersebut diamalkan, setidaknya kita telah berupaya untuk menutup ruang bagi konflik baru yang lebih tajam.

Berbeda pandangan dalam ruang demokrasi adalah niscaya, sementara konflik dalam demokrasi adalah petaka. Kita harus melembagakan kembali perbedaan kita. Cara-cara itu akan menjauhkan kita dari potensi disintegritas bangsa. 

Fakta bahwa puasa yang beriringan dengan momen politik  telah memberikan warna berbeda tidak bisa dibantah. Jejak lukanya telah terekam di berbagai lembar pemberitaan dan akan terus diabadikan sebagai sejarah yang kelam.

Puasa yang diidam-idamkan tidak benar-benar ada. Kesakralan puasa, mungkin, hanya dirasakan oleh orang-orang yang menjauh dari hiruk pikuk politik.

Selebihnya, bulan puasa merupakan medan yang kudus yang dianggap begitu menguntungkan untuk memupuk suara melalui isu agama.

Penulis : Ahmad Nurcholis

Agenda Pemilu 2019

  • 20 September 2018

    Penetapan dan pengumuman pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21 September 2018

    Penetapan nomor urut pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21-23 September 2018

    Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD, DPR, dan DPRD provinsi

  • 24 September-5 Oktober 2018

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 8-12 Oktober 2018

    Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara

  • 23 September 2018-13 April 2019

    Kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga

  • 24 Maret 2019-13 April 2019

    Kampanye rapat umum dan iklan media massa cetak dan elektronik

  • 28 Agustus 2018-17 April 2019

    Pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT)

  • 14-16 April 2019

    Masa Tenang

  • 17 April

    Pemungutan suara

  • 19 April-2 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil tingkat kecamatan

  • 22 April-7 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat kabupaten/kota

  • 23 April-9 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat provinsi

  • 25 April-22 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat nasional

  • 23-25 Mei 2019

    Pengajuan permohonan sengketa di Mahkamah Konstitusi

  • 26 Mei-8 Juni 2019

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 9-15 Juni 2019

    Pelaksanaan putusan MK oleh KPU

  • Juli-September 2019

    Peresmian keanggotan DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD

  • Agustus-Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPRD Kabupaten/kota dan DPRD Provinsi

  • 1 Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPR

  • 20 Oktober 2019

    Sumpah janji pelantikan presiden dan wakil presiden