"ENGGAK mau ah, kalau Jakarta nanti dipimpin oleh mantan napi korupsi. Emang, enggak ada yang lebih bersih ya?"
Pernyataan itu disampaikan salah seorang warga Jakarta. Saya mewawancarai beberapa warga, mayoritas adalah mereka yang pada Pilkada Jakarta lalu memilih Anies-Sandi. Semua yang saya wawancara mengaku keberatan jika wakil gubernur Jakarta pengganti Sandi adalah mantan napi korupsi.
Saya sempat mengatakan pada mereka bahwa seseorang bisa berubah. Toh, hukuman pidana sudah dijalani. Mereka menjawab, "Di mata kami, mantan narapidana apalagi korupsi, sudah tidak masuk di hati!"
Isunya memang mulai naik ke permukaan. Lepas ditinggalkan Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta Sandiaga Uno, kursi wagub DKI kosong.
Orang tertinggi dalam struktur pimpinan Ibu Kota ini menjadi penting. Ia akan menjadi pimpinan struktural yang terlibat dalam pengaturan anggaran daerah terbesar seluruh Indonesia, di atas Rp 70 triliun.
Agak sulit membayangkan, orang yang sebelumnya dipenjara karena kasus korupsi, saat ia menjabat dengan kewenangannya, lalu kembali berjibaku untuk merebut kuasa kembali.
Adalah M Taufik, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, dari Fraksi Partai Gerindra, yang saat ini gembar-gembor telah mendapat restu dari Partai Gerindra.
Taufik mengatakan, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto telah memilihnya untuk menggantikan Sandiaga Uno yang kini mulai berkampanye untuk menjadi wakil presiden.
“Gerindra insya Allah mengusulkan saya menjadi calon wakil gubernur, karena memang dalam ketentuan itu kan diusulkan dua nama oleh partai pengusung yang akan dipilih oleh DPRD. Saya kira itu mekanismenya,” kata Taufik kepada wartawan, pekan lalu di Jakarta.
Taufik memang hanya satu-satunya tokoh dari Partai Gerindra yang terdengar bersiap menggantikan Sandi Uno di kursi wagub DKI. Tak ada tokoh lain dari partai berlambang burung Garuda ini yang mengajukan diri.
Bahkan, sejumlah kawan Taufik, diantaranya Riza Patria, mendukungnya untuk menduduki kursi Wagub DKI.
PKS yang sebelumnya adem-ayem kini mulai buka suara. Menurut PKS, ada kesepakatan dengan Prabowo saat kedua partai ini memutuskan mendukung Sandiaga Uno maju menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah yang ingin maju dalam ranah eksekutif tidak perlu mundur dari jabatannya, cukup cuti. Kecuali, di ranah legislatif, dan sebaliknya.
Hal ini pun dilakukan oleh sejumlah pejabat saat pPilkada lalu, di antaranya mantan Bupati Trenggalek Emil Dardak.
Saat kampanye dalam Pilkada Jawa Timur sebagai calon wakil gubernur mendampingi Khofifah Indar Parawansa, Emil tidak mundur sebagai Bupati Trenggalek, melainkan cuti. Jika kalah dalam kontestasi pilkada, ia berhak duduk kembali di jabatannya.
Demikian pula dengan Sandiaga Uno. Undang-undang memperbolehkannya cuti, namun ia memilih mundur.
Belakangan, Presiden PKS Sohibul Iman mengungkapkan, ada kesepakatan antara partainya dan Prabowo Subianto untuk memberikan kursi wagub DKI Jakarta kepada PKS.
“Pada intinya adalah komitmen Pak Prabowo meminta kami mendukung sebagai capres. Di situ disampaikan bahwa salah satu yang diberikan kepada PKS adalah posisi wagub. Tadi sudah disampaikan dan ditanyakan kembali kepada Pak Prabowo dan tetap komitmen, dan kita sudah meminta Pak Prabowo untuk segera membuat surat ajuan tentang pencalonan dua nama dari PKS,” ungkap Sohibul Iman pekan lalu seusai rapat di rumah Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta.
Saya mewawancarai Taufik. Ia mengatakan tetap akan maju sebagai wagub DKI Jakarta. Ia bahkan sesumbar bakal mendapatkan restu dari Prabowo Subianto, segera!
Bagaimana dengan statusnya sebagai mantan narapidana korupsi pengadaan alat peraga saat ia menjadi Ketua KPUD DKI Jakarta tahun 2004 lalu.
Ia diputus bersalah oleh hakim karena merugikan keuangan negara sebear Rp 488 juta rupiah. Taufik dihukum 18 bulan penjara, 2 bulan lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut 20 bulan penjara.
Memang secara undang-undang tidak ada yang dilanggar Taufik, baik untuk maju sebagai calon legislatif maupun kepala daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, maupun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang dikuatkan dalam Uji Materi di Mahkamah Konstitusi, mereka yang terkena pidana dengan ancaman di bawah 5 tahun penjara berhak untuk maju menjadi kepala daerah.
Mereka yang tidak diperbolehkan maju dalam kontestasi pilkada adalah mereka yang pernah melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara, makar, teroris, mengancam keselamatan negara, dan memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nah, Taufik saat ini tidak sedang melakukan kontestasi politik Pilkada. Jadi, ada celah untuk bisa tetap mengajukan Taufik menjadi Kepala Daerah.
Sebelumnya, Taufik juga memenangi gugatan di Mahkamah Agung terkait Peraturan KPU (PKPU) yang melarang mantan napi korupsi, teroris, dan narkoba, ikut nyaleg. Pasca-kemenangan Taufik, PKPU ini jadi tidak bertaji.
Permasalahan ini sesungguhnya bukan soal nama siapa yang bakal duduk menjadi pejabat publik apalagi untuk memimpin Ibu Kota negara, dengan kepadatan penduduk tertinggi, anggaran terbesar, dan permasalahan terkompleks se-Indonesia.
Bukan pula soal adanya "celah" undang-undang yang bisa disiasati sehingga tampak tak ada satu pun yang dilanggar.
Ini adalah soal logika moral yang hilang jika proses ini dipaksakan!
Saya Aiman Witjaksono...
Salam.