Larangan Mantan Napi Kasus Korupsi dan Kamuflase Hak Asasi Manusia...

Jumat, 6 Juli 2018 | 10:11 WIB
KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO DPR, Pemerintah dan KPU akhirnya menyepakati bahwa mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak memiliki kesempatan untuk mendaftar sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada pemilu 2019. Kesepakatan tersebut diputuskan dalam rapat konsultasi selama sekitar tiga jam di ruang rapat Pimpinan DPR, gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/7/2018). Dalam rapat tersebut hadir Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menkumham Yasonna Laoly, Ketua KPU Arief Budiman, Ketua Bawaslu Abhan, Ketua DPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, Pimpinan Komisi II dan Komisi III.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Komisi Pemilihan Umum akhirnya menyepakati bahwa mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak memiliki kesempatan untuk mendaftar sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2019.

Kesepakatan tersebut diputuskan dalam rapat konsultasi tertutup selama sekitar tiga jam di ruang rapat Pimpinan DPR, gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/7/2018).

"Rapat berlangsung hangat. Tidak ada hal yang pribadi, semua adalah tentang hukum dan HAM dan kepentingan bangsa untuk menegakkan aturan dan junjung tinggi nilai-nilai HAM (hak asasi manusia)," ujar Ketua DPR Bambang Soesatyo saat mengawali konferensi pers seusai pertemuan.

Hadir dalam rapat tersebut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menkumham Yasonna Laoly, Ketua KPU Arief Budiman, Ketua Bawaslu Abhan, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, Pimpinan Komisi II dan Komisi III.

(Baca: DPR, Pemerintah, dan KPU Sepakat Eks Koruptor Punya Kesempatan Daftar Caleg)

Beri kesempatan

Bambang mengatakan, secara umum seluruh pihak menghormati keputusan pemerintah yang mengesahkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Namun, hak dasar warga negara dan prinsip hak asasi manusia (HAM) untuk dipilih dan memilih sesuai dengan kontitusi UUD 1945, harus tetap dihargai.

Ia mengaku telah mendengar penjelasan KPU bahwa peraturan tentang pelarangan mantan napi korupsi jadi caleg datang dari tekanan publik dan kekosongan hukum.

Sementara, pihak yang lain menyampaikan catatan tentang filsafat hak-hak warga negara dan HAM, prinsip-prinsip dalam keputusan UU dan norma yang sudah diatur dalam keputusan Mahkamah Konstitusi.

"Maka kami tadi sepakat memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk mendaftar menjadi calon legislatif di semua tingkatan dan melalui partai politiknya masing-masing," tuturnya.

Baca juga: Menurut Ketua DPR, Eks Koruptor Masih Berpeluang Jadi Caleg

Selain itu, lanjut Bambang, sambil menunggu proses verifikasi pendaftaran caleg oleh KPU, pihak-pihak yang tak setuju dengan PKPU pencalonan dipersilakan mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung.

Keputusan MA akan menjadi patokan bagi KPU dalam memutuskan sikap terkait proses pendaftaran calon.

Jika gugatan diterima, maka KPU wajib meloloskan calon peserta sebagai caleg.

Sedangkan, KPU dapat mencoret nama caleg terpidana kasus korupsi dan mengembalikan berkas ke parpol masing masing apabila gugatan uji materi ditolak.

"Sehingga keputusan apa pun dari MA akan menjadi patokan bagi KPU," kata Bambang.

"Kalau diterima maka KPU akan meneruskan proses verifikasinya menjadi daftar calon tetap, manakala ditolak oleh MA, KPU akan mencoret dan mengembalikannya kepada parpol yang bersangkutan," ucap politisi Partai Golkar itu.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman ketika ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (5/7/2018). KOMPAS.com/ MOH NADLIR Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman ketika ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (5/7/2018).
Berwenang mencoret

Secara terpisah, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan, mantan narapidana kasus korupsi memang memiliki kesempatan untuk mendaftar sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2019.

Namun, ia menegaskan bahwa KPU berwenang untuk menolak pendaftaran caleg yang tak sesuai Peraturan KPU (PKPU) dalam proses verifikasi pada 5 hingga 18 Juli 2018.

Berdasarkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018, pelarangan pencalonan eks napi bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi diakomodasi dalam pakta integritas yang harus ditandatangani pimpinan parpol.

"Kalau pendaftaran siapa pun bisa, boleh didaftarkan. Nah nanti saat verifikasi baru mulai kami menentukan apakah yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang ada di PKPU atau tidak," ujar Arief.

Baca juga: KPU Persilakan Mantan Napi Korupsi Daftar Caleg, tetapi...

Arief menjelaskan, para pihak yang ditolak pendaftarannya oleh KPU memiliki kesempatan untuk mengajukan gugatan uji materi PKPU ke Mahkamah Agung.

Selain itu, selama belum ada keputusan MA, yang bersangkutan juga bisa mengajukan sengketa pencalonan ke Bawaslu.

"Kalau dalam masa verifikasi kemudian kita nyatakan tidak memenuhi syarat maka selain JR (uji materi ke MA) ada juga satu pintu lagi yaitu mengajukan sengketa di Bawaslu," tuturnya.

Sementara, Arief menyerahkan penilaian kepada masyarakat saat ditanya apakah kesempatan eks koruptor mendaftar jadi caleg justru melanggar ketentuan soal pakta integritas.

Baca juga: KPU: Jika Caleg Eks Koruptor Tak Lolos Verifikasi, Parpol Bisa Lakukan 2 Hal Ini

Pasalnya, pakta integritas menjadi salah satu syarat dalam penyerahan berkas pendantaran.

Dalam Pasal 4 Ayat 3 PKPU disebutkan, dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.

Kemudian, dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf e diyatakan bahwa pimpinan parpol sesuai tingkatannya menandatangani dan melaksanakan pakta integritas pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ayat 3.

Formulir pakta integritas itu berisi tiga poin, di antaranya jika ada pelanggaran pakta integritas, berupa adanya bakal calon yang berstatus mantan napi bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi, maka bersedia dikenai sanksi administrasi pembatalan pencalonan.

"Silakan publik menilai. Kami sudah mengatur sebaiknya pada saat mendaftar itu sudah tidak menyertakan bakal calon yang terlibat tindak pidana tiga hal itu," kata Arief.

"Ya nanti pada saat verifikasi kami beri tanda. Dokumen yang nanti bisa dijadikan dasar untuk mengajukan sengketa," ucapnya.

Arti kata korupsi dalam bahasa Inggris.THINKSTOCKS/SUREEPORN Arti kata korupsi dalam bahasa Inggris.
HAM jadi kamuflase

Pro dan kontra muncul sejak KPU mewacanakan pelarangan mantan napi kasus korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Pemerintah dan DPR pun berbeda sikap terkait pelarangan itu. KPU dinilai telah melanggar prinsip-prinsip HAM warga negara untuk berpolitik.

Selain itu, pelarangan mantan napi kasus korupsi disebut melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).

Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU Pemilu menyebut, bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tidak pernah dipidana dengan penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka mengaku ke publik sebagai mantan napi.

Kendati demikian, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengkritik kesepakatan yang dihasilkan dalam rapat konsultasi tersebut.

Ia menilai argumentasi HAM hanya alasan untuk memberikan peluang bagi mantan napi koruptor untuk dicalonkan sebagai caleg.

"Pembelaan DPR terhadap keinginan untuk memberikan peluang bagi mantan napi koruptor untuk dicalonkan sebagai caleg dengan memakai argumentasi HAM cenderung hanya kamuflase saja," kata Lucius saat dihubungi, Kamis (5/7/2018)

"Betul bahwa semua orang punya hak untuk dipilih dan memilih. Akan tetapi begitu bicara soal hidup bersama dalam wadah negara, maka hak-hak individu harus diatur melalui peraturan agar kehidupan bersama bisa berjalan," ujarnya.

Baca juga: ICW Kritik Kesepakatan DPR, Pemerintah, dan KPU soal Eks Koruptor Bisa Daftar Caleg

Menurut Lucius, DPR dan pemerintah seharusnya menyadari bahwa masyarakat juga memiliki hak atas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.

Di sisi lain, pemilihan umum merupakan salah satu instrumen negara untuk menjamin pelaksanaan hak warga negara tetap tertuju pada terciptanya keadilan sosial.

Oleh karena itu, kata Lucius, larangan mantan napi koruptor menjadi caleg tidak menghilangkan hak seseorang, melainkan menjaga agar hak orang lain tidak diabaikan begitu saja.

"Jadi saya kira DPR hanya tak mau jujur saja ketika menggunakan argumentasi HAM justru untuk membela satu orang saja (mantan napi), tetapi mereka lupa bahwa banyak orang lain juga punya hak, tak mau dipimpin oleh seseorang yang sudah pernah melakukan kejahatan," tutur Lucius.

Apalagi, Komnas HAM sendiri pernah menyatakan bahwa PKPU tersebut tidak melanggar HAM apa pun.

Baca: Komnas HAM Sebut Tak Ada Pelanggaran HAM dalam Larangan Eks Koruptor Jadi Caleg

Hal senada diungkapkan oleh Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak. Ia mengatakan, pelarangan mantan napi kasus korupsi menjadi caleg merupakan upaya positif untuk melindungi hak publik.

Selain itu, PKPU tersebut juga mencegah seorang mantan napi koruptor untuk mengulangi perbuatan yang serupa saat memegang kekuasaan atau jabatan.

"Jadi, bagi saya upaya yang dilakukan oleh KPU melalui PKPU tersebut adalah upaya melindungi hak publik," kata Dahnil.

"Dan bagi saya di atas konstitusi ada etika, akhlak yang menjiwai konstitusi, ada yang tidak mampu di-cover konstitusi sehingga membutuhkan standar etik yang tinggi. Upaya KPU menurut saya adalah upaya meninggikan etika tersebut," ucapnya.

Kompas TV KPU menegaskan peraturan KPU yang melarang mantan napi koruptor menjadi caleg sudah sah berlaku meski belum diundangkan oleh Kemenkumham.



Editor : Bayu Galih
Page:

Agenda Pemilu 2019

  • 20 September 2018

    Penetapan dan pengumuman pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21 September 2018

    Penetapan nomor urut pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21-23 September 2018

    Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD, DPR, dan DPRD provinsi

  • 24 September-5 Oktober 2018

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 8-12 Oktober 2018

    Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara

  • 23 September 2018-13 April 2019

    Kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga

  • 24 Maret 2019-13 April 2019

    Kampanye rapat umum dan iklan media massa cetak dan elektronik

  • 28 Agustus 2018-17 April 2019

    Pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT)

  • 14-16 April 2019

    Masa Tenang

  • 17 April

    Pemungutan suara

  • 19 April-2 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil tingkat kecamatan

  • 22 April-7 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat kabupaten/kota

  • 23 April-9 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat provinsi

  • 25 April-22 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat nasional

  • 23-25 Mei 2019

    Pengajuan permohonan sengketa di Mahkamah Konstitusi

  • 26 Mei-8 Juni 2019

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 9-15 Juni 2019

    Pelaksanaan putusan MK oleh KPU

  • Juli-September 2019

    Peresmian keanggotan DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD

  • Agustus-Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPRD Kabupaten/kota dan DPRD Provinsi

  • 1 Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPR

  • 20 Oktober 2019

    Sumpah janji pelantikan presiden dan wakil presiden