JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menilai bahwa sanksi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti perlu diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menurut Agustinus, sanksi berupa pembayaran uang pengganti efektif untuk memerangi kejahatan dengan motif ekonomi.
"Sanksi finansial itu penting, sangat efektif untuk memerangi kejahatan dengan motif ekonomi," ujar Agustinus dalam diskusi publik 'Mendorong RKUHP Yang Pro Penanganan Tipikor dan Tipidsus Lain', di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/7/2018).
Baca juga: Akademisi: Kewenangan KPK Perlu Diatur Secara Tegas Dalam RKUHP
Selain itu, lanjut Agustinus, sanksi pidama pembayaran uang pengganti juga perlu diperberat dalam penanganan kasus korupsi.
Artinya, besarnya jumlah uang pengganti tidak terbatas pada jumlah uang yang dikorupsi oleh pelaku.
Ia mencontohkan ketentuan sanksi pidana ganti rugi yang telah diatur dalam KUHP. Dalam pasal tersebut dimungkinkan pelaku membayar lebih besar dari jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana.
"Pidana pembayaran uang pengganti juga perlu disempurnakan, agar besarnya tidak dibatasi pada hasil tipikor yang diterima," kata Agustinus.
Baca juga: Catatan Kritis Kontras Terkait Pasal Penyiksaan dalam RKUHP
Dalam draf RKUHP per 26 Juni 2018, sanksi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tidak termasuk dalam pasal pidana tambahan.
Pasal 72 RKUHP hanya mengenal enam sanksi pidana tambahan, yakni pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan/atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin tertentu dan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.