Sanksi Pidana Uang Pengganti Bagi Koruptor Dinilai Perlu Diperberat

Rabu, 4 Juli 2018 | 14:54 WIB
Lutfy Mairizal Putra Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan dlaam acara sosialisasi Perma 13/2016 tentang pemidanaan terhadap korporasi di kawasan Sudirman, Jakarta, Selasa (21/2/2017)

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menilai bahwa sanksi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti perlu diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Menurut Agustinus, sanksi berupa pembayaran uang pengganti efektif untuk memerangi kejahatan dengan motif ekonomi.

"Sanksi finansial itu penting, sangat efektif untuk memerangi kejahatan dengan motif ekonomi," ujar Agustinus dalam diskusi publik 'Mendorong RKUHP Yang Pro Penanganan Tipikor dan Tipidsus Lain', di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/7/2018).

Baca juga: Akademisi: Kewenangan KPK Perlu Diatur Secara Tegas Dalam RKUHP

Selain itu, lanjut Agustinus, sanksi pidama pembayaran uang pengganti juga perlu diperberat dalam penanganan kasus korupsi.

Artinya, besarnya jumlah uang pengganti tidak terbatas pada jumlah uang yang dikorupsi oleh pelaku.

Ia mencontohkan ketentuan sanksi pidana ganti rugi yang telah diatur dalam KUHP. Dalam pasal tersebut dimungkinkan pelaku membayar lebih besar dari jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana.

"Pidana pembayaran uang pengganti juga perlu disempurnakan, agar besarnya tidak dibatasi pada hasil tipikor yang diterima," kata Agustinus.

Baca juga: Catatan Kritis Kontras Terkait Pasal Penyiksaan dalam RKUHP

Dalam draf RKUHP per 26 Juni 2018, sanksi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tidak termasuk dalam pasal pidana tambahan.

Pasal 72 RKUHP hanya mengenal enam sanksi pidana tambahan, yakni pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan/atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin tertentu dan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.

Kompas TV Ketua KPK Agus Rahardjo berencana menemui Presiden Joko Widodo untuk membahas RUU KUHP yang menurut KPK akan melemahkan KPK.



Editor : Krisiandi

Agenda Pemilu 2019

  • 20 September 2018

    Penetapan dan pengumuman pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21 September 2018

    Penetapan nomor urut pasangan calon presiden-wakil presiden

  • 21-23 September 2018

    Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD, DPR, dan DPRD provinsi

  • 24 September-5 Oktober 2018

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 8-12 Oktober 2018

    Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara

  • 23 September 2018-13 April 2019

    Kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga

  • 24 Maret 2019-13 April 2019

    Kampanye rapat umum dan iklan media massa cetak dan elektronik

  • 28 Agustus 2018-17 April 2019

    Pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT)

  • 14-16 April 2019

    Masa Tenang

  • 17 April

    Pemungutan suara

  • 19 April-2 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil tingkat kecamatan

  • 22 April-7 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat kabupaten/kota

  • 23 April-9 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat provinsi

  • 25 April-22 Mei 2019

    Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat nasional

  • 23-25 Mei 2019

    Pengajuan permohonan sengketa di Mahkamah Konstitusi

  • 26 Mei-8 Juni 2019

    Penyelesaian sengketa dan putusan

  • 9-15 Juni 2019

    Pelaksanaan putusan MK oleh KPU

  • Juli-September 2019

    Peresmian keanggotan DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD

  • Agustus-Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPRD Kabupaten/kota dan DPRD Provinsi

  • 1 Oktober 2019

    Pengucapan sumpah/janji anggota DPR

  • 20 Oktober 2019

    Sumpah janji pelantikan presiden dan wakil presiden