JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Dalam Negeri menghormati langkah Kementerian Hukum dan HAM yang akhirnya mengundangkan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif.
PKPU itu memuat pelarangan pencalonan eks napi bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi menjadi anggota legislatif, baik di daerah dan pusat.
"Dari awal, posisi Kemendagri memang menunggu Kemenkumham (mengundangkan PKPU No. 20/2018). Sekarang, Kemenkumham telah mengundangkan dalam lembaran negara. Ini sudah sesuai Pasal 87 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundangan. Ini harus dihormati," ujar Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar di Jakarta, Rabu (4/7/2018).
Baca juga: Akhirnya, Kemenkumham Mengundangkan PKPU Pencalonan Anggota Legislatif
Ketika ditanya kemungkinan PKPU akan digugat ke Mahkamah Agung (MA), Bahtiar mengatakan, ada mekanisme hukum yang mengatur soal itu.
Kemendagri mempersilahkan mereka yang tidak puas untuk menempuh jalur hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 76 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Pasal 76 UU Pemilu menyatakan dalam PKPU diduga bertentangan dengan undang-undang ini, pengujiannya akan dilakukan oleh MA. Bawaslu dan atau pihak yang dirugikan atas berlakunya PKPU berhak menjadi pemohon untuk mengajukan pengujian kepada MA," ujar Bahtiar.
Baca juga: Pimpinan Parpol Harus Tanda Tangan Pakta Integritas Tak Calonkan Eks Koruptor Jadi Caleg
Apabila memang ada pihak yang memohon pengujian atas PKPU itu, ia berharap prosesnya segera selesai supaya tidak akan mengganggu tahapan Pemilu.
"Sebab, di Pasal 76 ayat (4) UU Pemilu, mengatur bahwa MA wajib memutus paling lama 30 hari sejak permohonan diterima MA. Jadi tidak mengganggu," ujar Bahtiar.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Selasa (3/7/2018) malam, akhirnya mengundangkan Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif.
Pelarangan pencalonan bekas napi bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi diakomodasi dalam pakta integritas yang harus ditandatangani pimpinan parpol.
Seperti dikutip Harian Kompas, Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan, ada perubahan tata letak dalam PKPU yang diundangkan tersebut dengan PKPU No 20/2018 sebelumnya.
Namun, ia menegaskan, tidak ada perubahan substansi. Mantan napi tiga jenis kejahatan tersebut tetap tidak boleh menjadi caleg.
Pasal 4 Ayat 3 PKPU disebutkan, dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Baca juga: Kata Zulkifli, Jika Banyak Eks Koruptor Nyaleg, DPR Bisa Dituduh Sarang Penyamun
Kemudian, dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf e diyatakan bahwa pimpinan parpol sesuai tingkatannya menandatangani dan melaksanakan pakta integritas pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ayat 3.
Formulir pakta integritas itu berisi tiga poin, di antaranya jika ada pelanggaran pakta integritas, berupa adanya bakal calon yang berstatus mantan napi bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi, maka bersedia dikenai sanksi administrasi pembatalan pencalonan.
Pasal-pasal dalam PKPU hasil sinkronisasi ini menggantikan pengaturan sebelumnya yang mengatur syarat calon ”bukan bekas napi bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi”.
Anggota KPU Wahyu Setiawan mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan perubahan tersebut karena tidak mengganggu prinsip KPU yang menolak mantan napi koruptor, bandar narkoba, dan kejahatan seksual anak menjadi caleg.
Dia juga menuturkan, pakta integritas itu menjadi instrumen pelaksana PKPU yang bersifat mengikat. KPU punya kewenangan eksekusi jika pakta itu dilanggar.
Dia mencontohkan, jika pada saat pendaftaran ada bekas napi bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi masuk di daftar calon yang diajukan parpol di daerah pemilihan tertentu, KPU berwenang untuk tidak menerima dan bisa mengembalikan ke partai.
Selain itu, jika pada tahap pendaftaran ada bakal calon bekas napi dari tiga jenis kejahatan itu masuk daftar calon sementara (DCS), KPU juga punya kewenangan untuk meminta parpol mengganti calon tersebut.
”Jika kemudian tetap masuk DCT (daftar calon tetap) dan kemudian calon tersebut terpilih, KPU juga ada kewenangan membatalkannya. Pengaturan ini karena khawatir kami kecolongan,” kata Wahyu.