JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta Mohamad Taufik mempertanyakan sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengeluarkan larangan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri dalam Pemilihan Legislatif 2019. Menurut dia, KPU sudah jelas-jelas melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Buat saya sih aneh saja, lembaga resmi seperti KPU kok melanggar undang-undang?" ujar Taufik ketika dihubungi, Senin (2/7/2018).
Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu menyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.
Taufik sendiri merupakan mantan narapidana kasus korupsi. Ia terjerat kasus korupsi saat menjabat Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta. Ia divonis 18 bulan penjara pada 27 April 2004 karena merugikan uang negara sebesar Rp 488 juta dalam kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004.
Baca juga: Ketua KPU Anggap Sah PKPU Larangan Mantan Koruptor Jadi Caleg
Taufik mengatakan KPU adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang. Seharusnya KPU berpedoman pada UU ketika membuat aturan.
Jika KPU berkeras, Taufik khawatir semakin banyak lembaga yang tidak berpedoman kepada UU dalam membuat kebijakan.
"Kalau lembaga resmi sudah berani melanggar UU secara terang terangan, nanti yang lain bisa ikut semau-mau juga dong," kata dia.
Mantan narapidana kasus korupsi telah resmi dilarang ikut pemilihan legislatif DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota 2019. KPU menganggap aturan tersebut sah dan berlaku meski tidak diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Larangan tersebut diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
"Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi," bunyi Pasal 7 Ayat (1) huruf h PKPU yang ditetapkan oleh Ketua KPU RI Arief Budiman tertanggal 30 Juni 2018 tersebut.